Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kidung Syukur dari Lereng Slamet

Kompas.com - 12/07/2015, 14:31 WIB
LANTUNAN salawat Nabi berlanggam Jawa sayup terdengar mengantar arak-arakan petani berbaju adat Banyumasan menuju Tuk Sikopyah, mata air di lereng timur Gunung Slamet, Jawa Tengah. Seusai memanjatkan syukur, mereka bergantian mengambil air dengan sebilah bumbung. Dari air itu, petani nunut urip, ikut hidup dibalut harmoni alam pegunungan.

Prosesi pengambilan air dari Tuk (mata air) Sikopyah itu mengawali pergelaran Festival Gunung Slamet (4-6 Juni 2015), yang baru pertama kali diselenggarakan di Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga. Hajatan adat berpadu promosi wisata, sebagai ungkapan syukur pada Sang Pencipta yang melimpahi tanah dengan kesuburan.

Jumat (5/6/2015) pagi, langit biru tak berangin memayungi Desa Serang, kampung terakhir menuju jalur pendakian Gunung Slamet, gunung tertinggi di Jateng (3.428 meter di atas permukaan laut/mdpl). Sebelum prosesi pengambilan air dimulai, 40 petani dengan pakaian adat Banyumasan berkumpul di halaman masjid Dusun Kaliurip, Serang. Kaum perempuan mengenakan kain warna hijau, sedangkan kaum pria memakai busana serba hitam dengan ikat kepala.

Petani perempuan tampak membawa sesaji berisi beragam hasil bumi, seperti padi, jagung, dan singkong, di dalam bakul. Dibawa pula hasil bumi khas desa di lereng timur Gunung Slamet itu, berupa sayur-sayuran dan buah-buahan, di antaranya kol, selada, tomat, cabai, hingga buah stroberi.

Kaum pria membawa lodong, bumbung bambu sepanjang 2 meter dengan ujung dibuat agak runcing untuk wadah penampung air. Sebagian lain membawa kokok, semacam lodong berukuran lebih kecil.

Saat tiba di depan masjid, pemimpin rombongan sejenak bersimpuh di depan sesepuh. Restu diminta mengambil air dari Tuk Sikopyah demi kesejahteraan petani. Selanjutnya, petani diantar sesepuh menyusuri jalan setapak, melintasi perkebunan dan hutan, menuju mata air berjarak sekitar 2 kilometer dari masjid. Gema salawat dan tetabuhan rebana masih menggema mengiringi.

Prosesi pengambilan air diawali dan diakhiri doa, dipimpin sesepuh. Setelah itu, rombongan kembali berjalan menuju Balai Desa Serang untuk menyemayamkan bilah-bilah bambu berisi air. Air itu akan dibagikan kepada petani guna disiramkan ke lahan mereka.

Harmoni

Ritual pengambilan air ini, menurut Samsuri (52), juru kunci Tuk Sikopyah, selalu dilangsungkan tiap bulan Muharam atau Sura dan diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka mensyukuri sumber air ini sebagai air penghidupan warga Purbalingga bagian utara, seperti Desa Serang, Kutabawa, dan Siwarak. Bahkan aliran air itu mengalir hingga wilayah kabupaten tetangga, yakni Pemalang.

”Tiga desa ini (Serang, Kutabawa, dan Siwarak) penghasil sayur dan buah-buahan. Dari hasil bumi, kami hidup. Jadi, selain syukur, tradisi ini menjadi penyambung harmoni antara alam dan manusia,” kata Samsuri.

Bagi warga setempat, Gunung Slamet dianggap sebagai simbol keselarasan alam dan manusia. Selain memberi limpahan kesuburan, gunung yang menjulang gagah itu juga beberapa kali menunjukkan ancaman vulkaniknya.

Tahun 2014, saat status gunung ini sempat mencapai Siaga (level tiga), hampir tiap hari puncak gunung bergemuruh keras. Petani ketakutan. Hal ini, kata Samsuri, menjadi penanda bahwa pada suatu batas tertentu, alam tidak bisa dilawan.

Mengenai mata air Sikopyah, Kepala Desa Serang, Sugito, menjelaskan, sumber air ini adalah satu dari tiga mata air terbesar di lereng Slamet. Dua yang lain merupakan sumber air panas, yakni mata air panas Guci (Tegal) dan mata air panas Baturraden (Banyumas).

Hanya Tuk Sikopyah yang airnya dingin. Ini menyuburkan tanah sehingga hampir semua penduduk bercocok tanam.

Dari cerita turun-temurun, asal mula nama Sikopyah berasal dari legenda Haji Mustofa, salah satu penyebar agama Islam di wilayah itu beberapa ratus tahun silam. Saat tinggal di padepokan Dukuh Kaji milik Ndara Subali, Mustofa suka bertapa di sumber air itu.

Nama Sikopyah berasal dari kata kopyah dalam bahasa Jawa berarti peci atau di tempat lain ada yang menyebutnya songkok atau kupluk. Suatu saat, kopyah Haji Mustofa tertinggal dan hilang di tempatnya bertapa. Dari kejadian itu, Mustofa menamakan tempat tersebut sebagai Tuk Sikopyah.

Walau ritual pengambilan air dari Tuk Sikopyah telah berlangsung turun-temurun, baru tahun ini dikemas menjadi agenda wisata budaya. Generasi muda di lereng timur Slamet melihat, tradisi ini berpotensi menjadi daya tarik bagi wisatawan lokal dan mancanegara.

”Selain melestarikan tradisi, kunjungan wisatawan juga akan semakin mempromosikan desa-desa di Purbalingga di lereng Slamet sebagai kawasan agrowisata terpadu,” kata Sugito.

”Perang” tomat

Tradisi lain yang dipanggungkan dalam hajatan Festival Gunung Slamet 2015 adalah ”perang” tomat dan stroberi. Ratusan petani dan kaum muda setempat saling lempar buah stroberi dan tomat yang merupakan hasil andalan wilayah itu. Tomat dan stroberi yang digunakan adalah produk tidak laku dijual karena busuk atau apkir.

Kegiatan yang dipusatkan di kolam Rest Area Lembah Asri Desa Serang itu menyedot perhatian ribuan wisatawan dan pehobi foto sejumlah daerah.

Tina Apriani (22), warga Serang yang juga terlibat dalam perang buah, mengatakan, kegiatan ini diyakini akan lebih mengenalkan potensi pertanian di desanya, seperti stroberi dan tomat. ”Promosi wisata seperti ini lebih mengena,” katanya.

Ketua Panitia Festival Gunung Slamet 2015 Tri Daya Kartika menuturkan, ajang perang buah ini terinspirasi dari tradisi perang cambuk antara warga Dusun Kaliurip dan Gunungmalang di Desa Serang pada zaman dulu.

Festival Gunung Slamet yang sebagian besar dihelat di Rest Area Lembah Asri juga menampilkan pertunjukan ebeg atau kuda kepang khas Banyumasan, kirab budaya hasil bumi, dan puncak acara prosesi wayang ruwat serta pentas seni kontemporer dan budaya lokal, pada Sabtu (6/6/2015) malam.

Wakil Bupati Purbalingga Tasdi berkomitmen memasukkan ajang ini sebagai agenda wisata tahunan tingkat provinsi. Festival Gunung Slamet akan dijadikan ikon budaya dan wisata Purbalingga.

Dalam buku Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak (LKiS, 2008), Budiono Herusatoto mencatat, wong Banyumasan yang meliputi gugusan wilayah Jateng bagian barat termasuk Purbalingga berada jauh dari pusat keraton sejak di Demak, Surakarta, dan Yogyakarta.

Pemeo yang disematkan pada mereka adoh ratu, cedhek watu (jauh dari raja, dekat dengan batu). Penduduknya menggeliat dalam kultur pertanian. Batu sebagai perwujudan alam adalah ibu, sumber dari segenap denyut kehidupan.

Harmoni alam dan manusia yang tersaji dalam Festival Gunung Slamet mengukir makna spiritual, sosial, dan kultural. (Gregorius Magnus Finesso)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com