Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Didi Suryadi, Menjaga Warisan Lukisan Jelekong

Kompas.com - 03/05/2017, 13:22 WIB

WARNA-WARNI lukisan menyemarakkan Kampung Jelekong, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, sejak lama. Kini, lewat komunitas Gurat, Didi Suryadi (25) mengajak pemuda Jelekong menjaga warisan itu tetap hidup memutar roda sejahtera.

Sore baru saja tiba di Kampung Jelekong, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, saat Didi mulai menggoreskan cat di atas kanvas, awal Maret 2017. Di studio berukuran 25 meter persegi, jemarinya cekatan memainkan palet pada kanvas, membentuk lukisan seikat mawar dalam vas.

Saat itu, Didi tidak sendiri. Ada Rafli Ardiansyah (11), warga Jelekong lainnya. Rafli melakukan hal yang sama dengan Didi, melukis mawar di atas kanvas yang lebih kecil.

Mereka melukis tanpa sketsa. Cat minyak langsung dilabur pada kanvas. Namun, tangan kecil Rafli masih kaku memainkan palet. Sesekali ia masih melihat bentuk lukisan yang dibuat Didi ketika bingung memilih warna atau membuat kelopak bunga.

”Saya ingin bisa melukis seperti Kang Didi,” kata Rafli.

(BACA: Tips Membeli Lukisan di Bali)

Didi mengatakan, sudah tiga minggu terakhir Rafli belajar melukis kepadanya. Rafli belajar mencampur cat, menorehkan palet di kanvas, hingga menyusun komposisi obyek gambar. Semua kanvas dan cat disediakan gratis oleh Didi.

”Saya seumur Rafli waktu belajar melukis. Saya juga belajar dari warga yang lebih dulu melukis. Keinginan berbagi keahlian membuat lukisan terus menjadi sumber kehidupan utama masyarakat Jelekong,” kata Didi yang mulai belajar melukis sejak berumur 11 tahun.

Mandiri

Berjarak hanya 25 kilometer dari Kota Bandung, Jelekong menjadi kampung paling berwarna di Kabupaten Bandung. Sosok mendiang Odin Rohidin, warga Jelekong, ada di balik rupa itu.

(BACA: Bolehkah Memotret di Pameran Lukisan Istana?)

Odin, kakek Didi, mengembangkan bakat melukis saat menjadi pelukis layar panggung dan dekorasi pernikahan di Jakarta sekitar tahun 1965. Saat pulang kampung ke Jelekong, Odin menebar karya seni.

Odin tak tinggi hati dengan kemampuannya itu. Meski berteman dengan pelukis tenar, seperti Sudjojono dan Hendra Gunawan, ia mau mengajari warga setempat melukis. Tema lukisan Odin, seperti panorama alam, bunga, dan ikan koi, tetap hidup hingga kini.

Didi menuturkan, kini tercatat ada 600 warga yang hidup dari kegiatan melukis warisan Odin. Mereka melakukannya di mana saja, mulai dari pelataran rumah, tanah lapang, hingga gudang lantai dua.

Proses pengeringan pun sederhana. Mengandalkan terik matahari, pemandangan lukisan dijemur di atap rumah atau pinggir jalan kampung sudah biasa.

Akan tetapi, tidak seperti pelukis kebanyakan yang menunggu ilham dan hanya melukis satu tema di satu kanvas, warga Jelekong punya pilihan lain.

Lukisan dibuat massal berdasarkan pesanan tengkulak atau galeri seni akibat pasar yang terbatas. Aktivitas ini membuat mereka tak keberatan apabila disebut perajin lukisan.

Secara ekonomi, pilihan itu menggerakkan kampung. Setiap hari, 3-8 lukisan bisa dihasilkan dari seorang perajin lukisan.

Dengan harga lukisan Rp 30.000-Rp 90.000 berbagai ukuran, seorang perajin lukisan bisa mendapat rata-rata Rp 2,5 juta per bulan. Artinya, tak kurang dari Rp 18 miliar berputar di kampung saat warga berkarya dalam setahun.

Meski lukisan terus memberi nafkah bagi warga, hati Didi tak tenang melihat masa depan lukisan Jelekong. Satu per satu masalah rentan datang menunggu diselesaikan.

Salah satunya adalah kendala harga cat yang semakin mahal. Untuk membeli lima cat warna dasar berukuran 1 kilogram, warga harus mengeluarkan Rp 420.000 atau naik dua kali lipat ketimbang beberapa tahun lalu.

Cat sebanyak itu biasanya habis selama dua minggu untuk 40 lukisan. Satu lukisan dibanderol Rp 30.000-Rp 200.000, nyaris tak pernah naik selama 10 tahun terakhir.

”Harga cat semakin tinggi, tapi harga lukisan tetap. Kondisi ini membuat melukis tak lagi diminati anak muda. Seperti Rafli, dari enam anak yang belajar, tinggal dia yang masih bertahan,” ungkapnya.

Susun strategi

Tak ingin melihat warisan Odin punah, Didi bersama komunitas seni Gurat menyusun strategi. Didi getol mengajak sekitar 100 anggota Gurat membuat cat sendiri. Inisiatif itu bisa menekan biaya hingga 50 persen.

Tidak hanya itu, mereka juga kerap menggelar acara melukis bersama setiap minggu pagi di Jelekong. Ada puluhan orang yang terlibat setiap acara itu digelar.

Harapannya, ada diskusi karya antarwarga yang telah melukis hingga muncul transfer ilmu baru bagi generasi yang lebih muda.

”Kami juga melakukan kegiatan yang sama di luar kota, seperti Garut dan Sumedang. Sama seperti di Jelekong, kami menyiapkan kanvas dan cat gratis bagi mereka yang ingin mencoba melukis,” katanya.

Tidak hanya menyasar sektor produksi, Didi juga getol mendorong anggota Gurat berinovasi saat memasarkan karyanya.

Jika sebelumnya menggantungkan pemasaran hanya kepada tengkulak, kini sebagian anggota Gurat berjualan sendiri lewat media sosial dan laman jual beli.

Anggi Sofyan (21) merasakan betul perubahan itu. Media sosial membantunya mempromosikan lukisannya. Sejak dua tahun lalu, ia bisa menjual 10 lukisan. Ia mengatakan mendapat semua ilmu itu dari Didi.

”Pernah ada konsumen datang ke sini setelah tahu di internet. Dia kaget saat melihat lukisan yang pernah ia beli Rp 500.000 di Bali ternyata hanya dijual Rp 90.000 di sini. Saya bilang, itu yang buat orang Jelekong juga,” tuturnya.

Didi mengatakan, sejumlah inovasi itu sudah memberikan hasil. Pengunjung yang datang ke Jelekong tidak hanya makelar lukisan, tetapi juga anak sekolah hingga wisatawan asing. Selain membeli lukisan, banyak dari mereka ikut belajar singkat melukis ala warga Jelekong.

”Ke depannya, tempat ini tidak hanya didatangi pedagang lukisan. Kami ingin kampung ini diakui potensinya sebagai wisata edukasi berbasis pembuatan lukisan,” ujarnya.

Pengakuan paling mutakhir datang akhir Februari lalu. Didi diajak menampilkan karya dalam pameran lukisan bertajuk Sejuta Bunga di Kota Kembang. Enam lukisannya jadi bagian dari 200 karya yang disajikan 150 pelukis dari sejumlah daerah di Indonesia.

”Sudah lama saya ingin ikut pameran lukisan seperti ini. Saya ingin membuktikan bahwa warga Jelekong lebih dari sekadar perajin lukisan,” katanya.

Salah satu karya kebanggaan Didi adalah lukisan berjudul ”Harum Namanya Seharum Sejuta Bunga”. Lukisan yang menampilkan wajah Presiden Soekarno itu disusun dari rangkaian gambar warna-warni bunga. Lukisan yang dihargai Rp 5 juta itu menjadi karya termahal yang pernah ditawarkan Didi.

Didi mengatakan, jika ada warga yang mau belajar, dia tidak akan menolak mengajarinya. ”Pesan terakhir Aki Odin sebelum meninggal masih saya ingat. Ilmu harus disebarkan, bukan disimpan sendiri,” ujarnya. (Cornelius Helmy)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com