Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Keyza Widiatmika
Dosen

Mengajar paruh waktu di Departemen Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (UI)

Hanya Orang "Sakit Gede" yang Senang Lihat Bali Macet Lagi

Kompas.com - 13/06/2022, 17:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

NADI kehidupan jalanan Bali berdenyut kembali setelah dua tahun lamanya harus tunduk pada pembatasan keimigrasian.

Penghentian penerbangan komersial yang awalnya direncanakan hanya sementara, sejak April 2020, ternyata berlangsung hingga Februari 2022.

Selama bulan pembukaan penerbangan tersebut, persentase jumlah penumpang yang dilayani naik 148 persen, yakni sebanyak 387.574 penumpang dibandingkan periode Februari 2021.

Sebagai daerah yang banyak menyandarkan perekonomian pada pariwisata, Bali kembali jadi mandala pesta untuk para tamu mancanegara.

Bali yang hening kembali jadi Bali yang bising. Meski demikian, sebagian orang malah menyambutnya dengan semringah.

“Senang lihat Bali macet lagi,” begitu kicau mereka. Sebuah kicauan sujud syukur, meski ngawur.

Saya mengerti maksud kicau tersebut sebenarnya gurau. Namun tabik sugra, orang dengan jenis sesat pikir macam apa yang bergurau lewat euforia atas kegagalan penguasa menata ruang publiknya?

Kalau kata orang Bali, pola pikir ini sudah sakit gede!

Saya ingin menceritakan bagaimana kehilangan seorang kawan untuk selamanya. Namanya Agus Eka.

Dalam setiap kesempatan di hari libur, mengayuh sepeda jadi kesibukan paling rutin untuk dinikmatinya. Hampir setiap Minggu, hingga berhenti pada 17 November 2018 lalu.

Ia meninggal akibat bertabrakan dengan bus saat bersepeda di kawasan Nusa Dua.

Maka ketika hasrat bersepeda masyarakat Indonesia jadi melonjak saat pandemi Covid-19, saya berharap besar ada gayung bersambut dari pemerintah.

Sayangnya, alih-alih peningkatan infrastruktur seperti pembangunan jalur sepeda, yang meningkat justru jumlah kendaraan bermotor.

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali menyebutkan ada kenaikan sekitar 180.000 jumlah kendaraan sejak tiga warsa terakhir.

Lebih rincinya, ada sebanyak 4.510.791 jumlah kendaraan dalam kategori bus, truk, sepeda motor, dan mobil penumpang yang terhitung pada 2021. Bahkan ada sejumlah kendaraan lain yang tak terdata.

Jika dibandingkan dengan total penduduk yang diproyeksikan mencapai 4.362.700 jiwa di tahun yang sama, maka jangan heran kemacetan melanda akibat dari satu penduduk yang punya lebih dari satu kendaraan, meski di usia belia.

Perkara berikutnya pada fasilitas untuk pejalan kaki. Kita tentu masih bisa mengingat kejadian pada 2017, ketika aktor Nicholas Saputra menegur para turis pengendara sepeda motor yang berusaha menerobos langkah kakinya di jalur pedestrian.

Perilaku para turis tersebut jelas salah. Namun jika dicari gara-garanya, kita tak bisa mengelak bahwa mereka hanya meniru kebiasaan buruk yang kita lakukan di surga destinasi pariwisata ini saat menantang kemacetan.

Trotoar Bali telah gagal dan kita harus mengakuinya. Dari rangkuman oleh Tripadvisor, wilayah persawahan dan usaha privat mendominasi daftar area indah pejalan kaki.

Tak nampak rekomendasi untuk menikmati panorama sambil berjalan di trotoar kota. Trotoar Bali tak bisa dibilang ramah pejalan kaki.

Selain banyak dimanfaatkan oleh pedagang kaki lima, banyak orang kaya yang tak bisa menyediakkan lahan parkir untuk koleksi mobilnya.

Selain itu berdiri tiang-tiang listrik, kondisi paving yang bobrok, hingga posisi trotoar yang buntung di tengah jalan, sementara sambungannya ada di jalan yang berseberangan dengan jalur sehingga harus melangkahi selokan untuk mencapainya.

Lantas, bagaimana nasib para penyandang disabilitas saat memanfaatkan trotoar?

Hal paling parah dalam skala internasional, Indonesia pernah mendapat predikat sebagai negara dengan peningkatan kecelakaan lalu lintas tertinggi oleh WHO.

Jumlah korban tewas akibat kecelakaan bahkan mencapai 120 jiwa setiap harinya. Di Bali, ada sekitar 2.077 kasus laka lantas per tahun jika dirata-ratakan selama tiga tahun sejak 2019.

Untuk mengatasi persoalan ini, pastinya pemerintah enggan berdiam diri. Apa lagi kalau kedatangan tamu acara kenegaraan. Forum G20, misalnya.

Segala upaya dari bongkar pasang trotoar hingga penataan taman dilakukan di sepanjang 22 kilometer jalan nasional. Anggarannya fantastis, sekitar Rp 200 miliar. Namun perihal realisasinya, kita bisa beri nilai sendiri.

Tingkat kemacetan lalu lintas di Bali sudah tahap akut. Sementara kita masih terbuai dengan hal-hal karnavalsentris dengan kedok estetika kacangan.

Macet jelas membawa petaka. Dampaknya beragam seperti pemborosan bahan bakar minyak di tengah harganya yang mahal.

Kemudian kandasnya produktivitas dalam pekerjaan, hingga lambannya perputaran perekonomian yang selama ini jadi impian.

Pariwisata macam apa yang kita tawarkan dari jalanan penuh polusi udara dan suara?

Jika ada yang masih kukuh menganggap kemacetan lalu lintas sebagai tanda pulihnya pariwisata, maka biarlah shortcut Canggu jadi tempat atraksi mobil nyungsep.

Atau terus terulang calon-calon penumpang yang ketinggalan pesawat karena kacaunya lalu lintas kota, seperti kejadian yang menimpa puluhan turis asal Perancis beberapa tahun lalu.

Ramai-ramai turis lancong ke Bali adalah pelepas dahaga di tengah gersangnya pariwisata. Kita semua layak merayakannya.

Tapi euforia atas bisingnya klakson di jalan raya adalah penyakit yang lebih kronis dari pemicu pandemi berkepanjangan. Sakit gede!

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com