Kuliner ndeso itu bisa diperoleh di Warung Nasi Jagung Botok Yuyu di Desa Tambahmulyo, Kecamatan Gabus. Warung milik Sukahar (33) itu berada di Jalan Gabus-Pati, Kilometer 1, yang berjarak sekitar 8 kilometer dari Terminal Induk Pati. Warung tersebut menyajikan menu utama nasi jagung dan botok yuyu. Menu-menu tambahannya antara lain peyek wader, sayur lompong, pepes keong sawah, pepes udang sungai, dan peso bungkus daun mengkudu.
Nasi jagung terbuat dari jagung yang ditumbuk atau digiling hingga menjadi tepung. Setelah dicuci, tepung jagung diberi sedikit air dan dikukus, kemudian ditaruh di atas tampah untuk diangin-anginkan sebentar. Begitu sudah tidak panas dan menggumpal, tepung itu diberi air lagi ditambah garam dan daun pandan secukupnya kemudian dikukus lagi. Garam dan daun pandan itu memberikan cita rasa gurih pada nasi jagung.
Menurut Sukahar, nasi jagungnya dibuat tanpa pengawet dan konon dipilih dari jagung-jagung yang ditanam secara organik.
Berdasarkan catatan Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java, jagung juga menjadi makanan penduduk Jawa, terutama di daerah-daerah padat penduduk yang produksi sawahnya tidak mencukupi. Di daerah-daerah itu jagung menjadi tanaman pengganti utama yang dimasak dengan cara direbus, dibakar, dan dibuat tepung.
”Penduduk yang mengonsumsi jagung pada umumnya adalah penduduk yang hidup di daerah pegunungan yang udaranya bersih sehingga tidak memengaruhi kesehatan mereka apabila tidak makan nasi,” tulis Raffles.
Yuyu sawah
Botok yuyu merupakan menu utama yang disandingkan dengan nasi jagung. Yuyu merupakan kepiting air tawar yang banyak diperoleh di sawah-sawah dan rawa-rawa di Pati. Masyarakat menyebut hewan berwarna cokelat kehitaman itu sebagai yuyu sawah (Parathelphusa convexa).
Berbungkus daun pisang, botok yuyu itu memiliki kekhasan, baik dari sisi tampilan maupun rasa. Di dalam botok terdapat potongan cangkang yuyu yang nikmat dicecap. Rasa sari-sari daging yuyu mirip rasa kepiting, berbaur dengan rasa gurih dan sedikit agak pedas.
Sukahar membuka warung kecil dari bambu di depan rumahnya pada 2005. Waktu itu modalnya Rp 1 juta. Seiring berjalannya waktu, pembeli dan pelanggan semakin banyak. ”Warung baru itu saya beri ikon warung abad XVI karena bernuansa pedesaan,” katanya. (HENDRIYO WIDI)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.