Siapa tidak kenal si hitam-pekat-kental-manis-gurih-lezat ini? Siapa yang bisa melupakan kenangan rasa lembut nan menggoda sang petis ini? Di sela tahu goreng….hhhmmm….rasa legit-gurih aroma kuat udang menggoyang lidah….
Petis adalah komponen dalam masakan Indonesia yang dibuat dari produk sampingan pengolahan makanan berkuah (biasanya dari pindang, kupang atau udang) yang dipanasi hingga cairan kuah menjadi kental seperti saus yang lebih padat.
Dalam pengolahan selanjutnya, petis ditambah karamel gula batok. Ini menyebabkan warnanya menjadi coklat pekat, cenderung hitam dan rasanya manis.
Selain udang dan kupang, di (Boyolali), Jawa tengah, Indonesia, sebagai penghasil produk berbahan baku sapi seperti susu segar, dendeng, abon, kulit dan rambak (kerupuk yang dibuat dari kulit sapi), dikenal juga petis sapi. Yaitu petis yang terbuat dari hasil sampingan dalam proses pembuatan dendeng dan abon sapi.
Aroma ‘amis’ petis yang dihasilkan tentu berbeda antara petis udang, petis kupang dengan petis sapi.
Berbeda dengan ‘saudara’nya terasi, yang dikenal dan dikonsumsi oleh penduduk Asia Tenggara umumnya, petis nampaknya hanya dikenal di Indonesia.
Hampir semua negara di Asia tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, mengenal terasi, dengan variasi bentuk sediaan, kering, basah atau setengah basah, dan nama. Namun aroma yang keluar dari terasi hasil olahan negara-negara tersebut sama.
Petis biasa dipakai sebagai penyedap (seasoning) pada beberapa makanan seperti rujak (cingur, tahu, gobet, manis), kupang lontong (Sidoarjo), semanggi (Surabaya), lontong balap (Wonokromo), tahu campur (Lamongan), tahu tek (Lamongan), atau campor (Madura). Telur Petis di Surabaya termasuk hidangan rumahan yang favorit.
Petis lebih dikenal di pesisir utara Jawa dan saya curiga petis ini lebih dikenal di Pulau Jawa daripada di luar Jawa. Bisa dipahami lebih dikenal di daerah pesisir, karena bahan baku yang dari udang atau ikan.
Tapi dengan sedikit “ilmu kira-kira” saya berani menduga bahwa terciptanya petis ini adalah di pesisir utara Pulau Jawa di sekitar awal abad-abad 7 di mana pelabuhan-pelabuhan penting di pesisir utara Jawa menjadi hub/penghubung penting di kawasan.
Pelabuhan-pelabuhan di pesisir (terutama Pulau Jawa) mulai membuka diri untuk perdagangan dengan dunia internasional. Para pedagang dari berbagai negara berniaga di Pulau Jawa sebagai salah satu international hub penting di masa itu.
Para pedagang yang berdatangan ini berinteraksi dengan penduduk setempat. Interaksi yang terjadi bukan saja perdagangan, tapi interaksi sosial sekaligus menularkan berbagai ilmu, di antaranya teknik pengawetan makanan.
Mata pencaharian sebagai nelayan adalah “konsekuensi logis” berdomisili di kawasan pesisir. Sisa ikan dan udang tangkapan tidak tahu dikemanakan, tidak tahu diapakan, dan karena keadaan dan kondisi terdesak, jadilah petis itu.
Sebenarnya proses pembuatan petis ini bisa dibilang adalah proses pembusukan yang tak-sengaja dan spontan, tapi malah menghasilkan sesuatu yang baru.