Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (95)

Kompas.com - 16/07/2008, 06:10 WIB

[Tayang:  Senin - Jumat]



Tangan Tuhan

Saya ingat, tak sampai dua bulan yang lalu, saya datang ke KBRI Tashkent dengan bercucuran air mata. Empat ratus dolar saya tiba-tiba raib dari dompet, yang saya sendiri pun tak tahu bagaimana ceritanya. Ceroboh, ceroboh, ceroboh, saya memaki-maki sendiri. Satu per satu diplomat dan staf KBRI duduk di hadapan saya, memberikan penguatan.

           "Gus, mungkin Tuhan memang punya kehendak," kata Pak Pur, seorang diplomat, "mungkin dengan kejadian ini Tuhan mengingatkan kamu supaya lebih rajin bekerja, lebih rajin memotret, lebih rajin menulis. Semua itu ada hikmahnya."

Pak Pur kemudian bercerita tentang puluhan ribu dolar yang dicuri orang waktu naik kereta di Rusia. Lebih sakit rasanya. Tetapi akhirnya beliau juga bisa mengikhlaskan.

Bicara tentang Tuhan, mengapa Tuhan tak mengizinkan saya melanjutkan perjalanan lagi, saya ingin sekali melihat negeri-negeri Kaukasus yang dilupakan orang, eksotisnya padang pasir Timur Tengah, serta Afrika yang liar. Apa daya, Tuhan tak mengizinkan, uang saya tak banyak lagi tersisa. Empat ratus dolar, begitu besar artinya bagi saya.

Mungkin Pak Pur benar, Tuhan berkehendak lain. Setelah meratap berhari-hari, saya akhirnya berusaha bangkit dari keterpurukan. Saya mencari lowongan kerja di sana-sini, mengontak kawan ini dan itu, hingga pada akhirnya, hari ini, saya tersenyum kecil melihat sebuah visa Afghanistan tertempel di paspor saya. Sebuah paspor yang untuk memperolehnya benar-benar butuh perjuangan.

Afghanistan? Ya. Saya membulatkan tekad untuk kembali ke negara ini, negara yang sudah barang tentu bukan tempat wisata favorit orang-orang normal mana pun. Saya juga bukannya mau berwisata, tetapi mencari uang untuk melanjutkan perjalanan saya, menggapai cita-cita mencapai ujung dunia, yang entah ada di mana.

Hujan turun rintik-rintik di Samarkand, ketika saya meninggalkan rumah Ozoda. Berat sekali rasanya meninggalkan Uzbekistan. Tetapi tak perlu air mata. Langit telah mewakili perasaan saya. Saya menumpang mobil melintasi gunung-gunung menuju kota Termiz di selatan Uzbekistan. Tak hanya gunung, saya juga melintasi sejarah. Ada Shakhrisabz, salah satu kota yang menjadi situs peninggalan UNESCO, yang kampung kelahirannya raja besar Amir Temur. Ada pula Qarshi, yang baru merayakan ulangtahunnya yang ke-2700. Kota-kota di Uzbekistan kebanyakannya memang sudah empat digit umurnya.

Kota Termiz atau Termez juga kota tua. Didirikan seribu tahun sebelum masehi, dengan nama yang mirip-mirip termos. Mungkin karena itu juga, Termiz adalah kota paling panas suhunya di Uzbekistan. Baru-baru ini saja kota Termiz, ibu kota propinsi Surkhandaryo, dibuka untuk orang asing. Lokasinya sangat sensitif, di depan pintu gerbang negara Afghanistan yang tidak pernah tenang.

 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com