Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (104): Terkapar di New Delhi

Kompas.com - 26/12/2008, 05:43 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Tak ada jalan lain bagi saya untuk segera kembali ke Delhi. Penyakit kuning yang saya derita semakin parah. Tubuh saya lemas. Tetapi Delhi lebih dari seribu kilometer jauhnya, dua puluh empat jam perjalanan yang berat dengan kereta.

          “Mungkin kamu harus pulang, Gus, jangan memaksakan perjalanan ini,” saran seorang teman dari Jakarta. “Hepatitis, itulah keadaan di mana banyak backpacker mengakhiri pengembaraannya,” seorang kawan backpacker senior dari Inggris menulis email. “Hepatitis adalah penyakit di mana seorang harus istirahat, bed rest total, satu bulan penuh minimal. Sebaiknya memang kamu pulang,” tulis yang lain.

Tetapi saya tak mau berakhir di sini. Saya tak mau menyerah dengan penyakit ini.

Dari sekian banyak surat dari kawan, hanya satu yang menyemangati saya untuk terus maju.

          “Jangan menyerah, Gus. Maju terus. Gue yakin kamu pasti bisa,” tulis Andi Lubis, seorang wartawan senior di Medan.

Sepatah kalimat pendek itu yang membuat saya terus bertahan. Saya yakin saya pasti bisa, mencapai cita-cita saya melihat ujung dunia. Saya tak gentar perjalanan panjang kereta api menuju New Delhi. Saya harus segera sampai ke Pakistan, di mana gunung-gunung salju pegunungan Himalaya dan Karakoram akan menjadi tempat saya beristirahat. Hati saya dipenuhi segala macam rancangan, impian, harapan, dan setetes keyakinan.

Dengan berbekal tiga botol besar air tebu dan setandan pisang, berjalan terbungkuk-bungkuk memanggul ransel berat, saya berangkat menuju stasiun kereta api Chhatrapati Shivaji Terminus yang megah. Dari luar gedung ini tampak bak istana Inggris, dengan dekorasi dan lekuk-lekuk arsitektur yang sangat detail. Stasiun kereta api Mumbai ini  bahkan sampai terdaftar dalam warisan peninggalan budaya UNESCO.

Tetapi di dalam, suasana yang hiruk pikuk dan amburadul mengingatkan saya bahwa ini masih India. Sopir taksi yang baik, tahu saya kena penyakit berat, ikut membantu membopong tas ransel saya sampai ke dalam kereta. Bahkan untuk urusan ongkos, sopir taksi dan rickshaw selalu patuh argo, tak perlu berdebat macam di Delhi. Apalagi saya pun sudah tak bertenaga untuk itu.

Karcis kereta Mumbai – Delhi sebenarnya susah sekali didapat. Orang sampai memesan dua minggu sebelum hari keberangkatan. Tetapi untuk orang asing ada perlakuan khusus. Seperti kaum wanita dan veteran perang, orang asing tak perlu mengantre kalau membeli tiket. Entah penghormatan seperti ini kepada orang asing adalah peninggalan dari kolonialisme anak benua selama berabad-abad. Selain itu, ada sistem kuota yang menjamin pemegang paspor asing untuk selalu kebagian tiket. Sebuah sistem ramah turis yang membuat India semakin kebanjiran backpacker. Bagi saya, sistem ini adalah berkah tak terduga.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com