Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (191): Little India

Kompas.com - 29/04/2009, 07:49 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Harum dupa semerbak mengisi ruangan. Mantra bermelodi terus mengalir dari mulut pandit, yang membawa nampan dan lilin. Tiga orang umat di belakangnya, ikut mengiringi mantra. Dentingan lonceng mungil bergemerincing, menambah daya magis lantunan mantra-mantra.

Di hadapan mereka, sebuah patung biru berdiri gagah. Tangannya banyak, masing-masing memegang senjata dan menjambak kepala-kepala manusia. Di lehernya tergantung kalung dari untaian tengkorak. Lidahnya terjulur, merah membara. Tetapi di balik semua deskripsi seram itu, sepasang mata indah memancarkan kewelasasihan. Ini adalah patung Dewi Kali, pasangan Sang Dewa Syiwa. Mantra terus mengalir memanjatkan puja dan puji, ritual rutin setiap pagi di Shiv Mandir, Kuil Syiwa.

Ini bukan India. Ini adalah Umerkot, kota terakhir Pakistan di tepian padang pasir Thar yang luas menghampar.

Hiruk pikuknya Umerkot, dengan gang-gang sempit yang berkelok-kelok ruwet seperti benang kusut, diiringi dentuman lagu-lagu Bollywood yang menyalak tiada henti dari tape kuno, dihiasi warna-warni indah dari kuil-kuil Hindu yang bertebaran, dipenuhi percakapan yang tak lupa menyebut kebesaran Syiwa, Brahma, dan Wishnu, memang membuat saya sejenak merasa diterbangkan ke India.

Umerkot adalah tempat yang unik di Pakistan. Mayoritas penduduknya Hindu, tersembunyi di pedalaman Republik Islam.. Kota ini didirikan oleh seorang Hindu, Amer Singh, yang menjadi ihwal nama Amerkot, kota Amer. Kemudian, seorang Muslim bernama Umer menaklukan daerah ini, dan mengganti namanya menjadi Umerkot, kota Umer. Muslim menyebutnya Umerkot, umat Hindu Amerkot. Pakistan kemudian mengesahkan namanya Umerkot.

Ada yang mengklaim, 80 persen penduduk Umerkot adalah umat Hindu. Dominasi nuansa India sangat kental di sini, walaupun huruf-huruf Arab bahasa Sindhi bertebaran di mana-mana, termasuk di dalam kuil-kuil Hindu.

Sudah dua minggu ini saya tinggal bersama keluarga Hindu Om Parkash Piragani. Rumah besarnya dihuni 52 orang. Dalam tradisi India, keluarga besar seperti ini sudah biasa. Extended family, di mana masing-masing anggota dalam keluarga besar mempunyai peran dan kedudukan sebagai penyokong roda keluarga, adalah sebuah nilai yang terus hidup dalam masyarakat tradisional di Asia Selatan.

Tiga generasi hidup bersama di rumah ini. Hampir separuh penghuninya adalah anak-anak, yang senantiasa berlari-lari liar ke sana ke mari sepanjang hari.

Rumah Parkash adalah deretan kamar-kamar yang berbaris membentuk huruf O siku-siku, mengelilingi sebuah halaman terbuka, tempat penghuni rumah tidur bermandi sinar rembulan dan bertudung bintang-bintang melewatkan malam yang panas menyengat. Ada tiga buah dapur, sejatinya masing-masing satu untuk setiap sub keluarga. Tetapi perempuan-perempuan keluarga besar ini lebih sering menyiapkan masakan dalam kebersamaan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com