Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/06/2009, 14:43 WIB

Tentunya kita kenal jajanan gurih renyah dengan nama lumpia. Entah kenapa, kebanyakan orang Semarang “berkeras” menyebutnya lunpia. Dua-duanya benar. Lun atau lum berarti lunak atau lembut, bergantung pada dialek pengucapnya. Pia, seperti kita tahu, berarti kue. Dari penyebutan ini kita sebenarnya dapat menduga bahwa lumpia seharusnya tidak digoreng, melainkan basah.

Gwen, anak saya, semasa masih SMP di Los Angeles pernah kesal ketika sekolahnya menyelenggarakan festival kuliner. Setiap murid yang berasal dari negara-negara asing diminta membawa jajanan tradisional untuk dipertunjukkan dan dicicipi bersama. Gwen menampilkan lemper dari Indonesia. Temannya yang dari Filipina membawa lumpia yang diakuinya sebagai jajanan khas Filipina. Gwen langsung protes. Lho, bukankah itu asalnya dari Tiongkok dan di Indonesia pun populer?

Mudah-mudahan tulisan ini tidak lagi memicu perdebatan atas nama nasionalisme seperti tulisan terdahulu tentang kopi. Bila mengacu pada Wikipedia, jajanan yang dalam bahasa Inggris disebut spring roll ini lazim dijumpai di Tiongkok, Vietnam, Filipina, dan Indonesia. Hanya di Filipina dan di Indonesia saja kudapan ini disebut lumpia. Di Vietnam disebut cha gio, sedang dalam bahasa Mandarin namanya adalah chun yuan – kadang-kadang diucapkan seperti chun juan atau chun cuen. Penamaan spring roll menurut etimologi berasal dari tradisi menyantap kue gulung (roll) ini pada Hari Raya Imlek yang juga lazim disebut Spring Festival. Ini adalah terjemahan langsung dari chun (musim semi) dan yuan (gulung).

Jadi, dari mana asal lumpia? Silakan Anda cari sendiri jawabnya. Yang jelas, di Indonesia dapat kita jumpai berbagai macam lumpia. Di Semarang ada lumpia yang isinya dibuat dari rebung, udang, dan telur. Hadir dalam versi goreng maupun basah. Bagi saya pribadi, ini adalah jenis lumpia yang paling saya sukai. Sayangnya, tidak semua lumpia semarang punya kualitas sama. Ada yang rebungnya beraroma amonia, sehingga membuat orang menjauh.

Di Jakarta ada lumpia yang mirip dengan lumpia semarang, tetapi rebungnya diganti bangkuang. Lumpia jakarta hampir selalu tampil dalam versi goreng. Cocolannya sambal kacang yang mirip dengan sambal untuk nasi uduk.

Di Bogor ada lumpia bakar yang sangat unik. Isinya mirip lumpia jakarta – yaitu bangkuang, ebi, telur – tetapi ditambah potongan tahu. Bentuknya seperti bantal segi empat, berukuran besar. Lumpia bogor dipanggang di atas besi panas, sehingga menghasilkan citarasa yang khas.

Di Medan, jenis lumpia yang populer disebut popiah – yaitu lumpia basah berukuran besar. Popiah bukan lagi jajanan atau kudapan, melainkan sudah merupakan makanan utama karena porsinya yang besar. Kalau tidak salah, makanan ini berasal dari suku Hokchia. Kulitnya seperti lumpia, tetapi lebih lebar. Isinya sangat kaya. Di rumah Yerline Oentoro, saya pernah disuguhi popiah paling mak nyuss yang isinya antara lain adalah: kepiting, udang, rebung, orak-arik telur, remukan kacang tanah, dan macam-macam lagi. Hasilnya adalah popiah yang gendut-gendut menggoda. 

Di kalangan masyarakat keturunan Indonesia di Negeri Belanda, lumpia juga merupakan jajanan populer. Karena di sana sulit mendapat rebung atau bangkuang, biasanya diisi dengan tauge, orak-arik telur, dan irisan ham.

Berbagai kreativitas pedagang makanan di Indonesia menampilkan lumpia berisi tauge, potongan kentang rebus, dan lain-lain. Di Indonesia kita juga punya jajanan bernama dadar gulung yang secara penampilan mirip lumpia. Dibuat dari semacam serabi tipis dari tepung beras atau terigu, biasanya memakai daun suji agar berwarna hijau, diisi dengan unti yang terbuat dari parutan kelapa dimasak dalam gula kelapa, kemudian digulung membentuk paket.

Kalau orang Italia mengaku bahwa spaghetti terinspirasi oleh mi yang dilihat Marco Polo ketika berkunjung ke Tiongkok, mungkinkah orang Belanda juga terpengaruh oleh lumpia ketika membuat jajanan yang kita kenal dengan nama risolles? Bedanya, risolles berisi ragu yang khas Belanda. Bisa juga keduanya merupakan koinsiden yang tidak perlu diperdebatkan dalam sejarah kuliner.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com