Oleh Aryo Wisanggeni dan Samuel Oktora
Goragosa adalah sejenis rumput alang-alang. Goragosa yang menjadi bumbu dasar masakan Flores tempo dulu itu hadir kembali sebagai bumbu santapan nikmat di Kota Ende, Nusa Tenggara Timur.
Angin malam Kota Ende mengantar kami memasuki rumah panggung berdinding kulit bambu, Restoran Pangan Lokal, di Jalan Melati. Tikar daun pandan dan meja berkaki rendah menyambut kami dalam suasana lesehan yang santai. Suasana ini yang memikat turis dari 16 negara untuk menjajal citarasa asli Ende Lio, di pesisir selatan Pulau Flores, NTT.
Suster Martini CIJ, pengelola restoran itu, sepertinya tahu kami sungguh lapar. ”Kalian datang malam-malam, tidak banyak menu yang tersedia. Mungkin bagus menjajal nasi jagung dan ikan kuah asam?” ujarnya menawarkan.
Ah, membayangkan sup ikan ekor kuning segar dari Laut Sawu di selatan Kota Ende semakin memompa nafsu makan. Namun, sepertinya tidak akan memuaskan rasa lapar. Dengan ragu kami juga memesan ikan kerapu bakar.
”Ada, tetapi harus menunggu dibakar, bumbunya juga rumput goragosa,” sahut Suster Martini.
Rumput goragosa memang menjadi salah satu bumbu dasar hampir semua menu di Restoran Pangan Lokal yang menampik semua bumbu penyedap rasa buatan. Seperti 50-an sayuran dan bumbu dapur lainnya, goragosa juga ditanam di pekarangan luas rumah makan itu.
”Slowfood” ala Ende
Tidak hanya memasak dengan bumbu segar, seluruh menu baru dimasak setelah dipesan. Ikan dibakar dengan kayu di perapian kecil di belakang dapur. Sementara bumbu diparut, bunga pepaya dan ubi jalar dicacah lembut untuk bahan urap.
Dua cawan jahe panas, jahe yang pedas dan berasa tajam, disuguhkan terlebih dahulu menemani waktu menunggu awak dapur menjalankan ”ritual” slowfood mereka. Sekitar 45 menit kemudian, barulah hidangan bermunculan dari dapur.