Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berburu Matahari di Maninjau

Kompas.com - 23/03/2010, 22:17 WIB

KOMPAS.com - Danau Maninjau selalu menarik minat saya, bukan cuma karena panorama danaunya yang tenang dan mengandung misteri, seperti ada nuansa magis dan mistis yang dipancarkan air danau yang hijau kehitam-hitaman itu. Bukan cuma karena Kelok 44 yang fantastis, bukan hanya karena jalan salingka (selingkar) danau dengan nagari-nagari yang sarat mitologi seperti Tanjuang, Sani, Sigiran, Koto Malintang, dan lain-lain.

Juga bukan karena legendanya yang fenomenal karena menyangkut pembuktian akan kebersihan diri dari sepasang kekasih Sani dan Giran atau rumah Buya Hamka yang sangat tersohor sampai ke dan menjadi tujuan bagi para wisatawan dari Malaysia, Brunei Darussalam dan Timur Tengah. Atau hanya karena rakik (peyek) dan palai (pepes) rinuak (ikan-ikan kecil yang hanya hidup di Danau Maninjau) dan khas Maninjau atau rebusan pensi yang bikin alergi saya kumat.

Atau Puncak Lawang yang membuat para penggila olahraga paralayang di seluruh dunia ngiler karena ketinggian dan kualitas anginnya yang yahud, tapi memang karena semua itu, bahkan sawah dan perbukitannya yang seperti berlomba masuk ke pelukan danau pun sangat memikat mata saya. Sementara bebunyian tambua (gendang besar) serta gendang tassa para musisi tradisional di Paninjauan juga sangat indah kedengarannya di telinga.

Tapi, selalu ada sensasi baru di Maninjau. Mei tahun lalu, saya dan Ismunandar—fotografer profesional yang pernah mengurusi Majalah Voice of Nature dan Indonesia Magazine–mencoba menelusuri sisi lain Maninjau. Kami mencari matahari! Karena menurut Eri dan Budi, dua kenalan kami dari Hotel Tandirih Maninjau, matahari sudah lama tak muncul di sekitar danau, dan bahwa kalau matahari bersinar pendarannya saat menyentuh permukaan danau sangatlah cantik, apalagi kalau dinikmati dari Sakura Hill.

Sakura Hill

Wah, ini tempat baru. Menurut Eri, guide top di kawasan Maninjau, Puncak Lawang, Matua dan sekitarnya, lokasi itu dinamai seorang turis Jepang yang seperti menemukan keindahan bukit sakura di kampungnya di sana. “Padahal mana ada bunga sakura di situ,” kata Eri.

Jadi berangkatlah kami dengan menyewa sepeda motor yang disewa Rp 60 ribu per 12 jam. Dari Pakan Ahad motor dipacu mendaki jalan sempit yang berkelok-kelok. “Ini sih Kelok 44 sebelum dipoles,” kata Ismu.

Saya setuju, tapi kayaknya jalan itu lebih menyeramkan, karena sempit, berstruktur sebagian tanah liat licin dan sebagian beton lunak yang tak diberi pengaman di sisi yang satu dan berparit dalam di sisi yang lain. Alhasil ini Kelok 44 versi maut.

Dan jalan itu jahil bukan main. Sebentar-sebentar motor kami diseretnya, lain saat digelincirkannya ke arah jurang. Kali lain dibenturkannya ke tebing. Yang paling sering dipurukkannya ke parit di pinggir jalan. Sampai akhirnya motor kami menyerah. Ketinggian yang curam itu menawarkan jurang menganga yang siap melumat tubuh siapa saja yang jatuh ke dalamnya. Jadi kami berhenti menantangnya dan menunggu ojek.

“Wah berani juga mengendarai motor sendiri sampai ke ketinggian ini,”kata tukang ojek yang kemudian memberi tahu bahwa orang-orang di desa-desa sekitar tempat itu saja jarang berani mengendarai motor sendiri. Mereka lebih mempercayakan keselamatannya pada tukang ojek yang tarifnya Rp 2.500 sekali jalan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com