Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Melirik Cantiknya Kain Tenun "Tana Ai" di Sikka Flores

Saya pun merasa penasaran dengan ajakan itu. Tidak seperti biasanya, hari ini, cuaca kota Maumere sangat cerah. Saya lalu memutuskan untuk berangkat menuju Desa Nangatobong. Kami berdua keluar dari kota Maumere, pukul 08.14.

Pukul 08.30 kami pun tiba di Desa Nangatobong, Kecamatan Waiblama. Tepat di samping jalan kami berhenti, ada papan informasi bertuliskan "Kelompok Kain Tenun Buen Bluduk Desa Nangatobong, Kecamatam Waiblama".

Kami pun memutuskan untuk masuk ke dalam rumah yang di berada di belakang papan informasi itu. Kami mengetuk pintu rumah itu. Seorang mama muncul dan menanyakan apa tujuan kedatangan di desa itu.

Saya dan teman jurnalis menceritakan bahwa kami ingin mencari rumah Kepala Desa Nangatobong. Kami hendak meliput kearifan lokal di desa ini.

"Ini rumah bapak Kepala Desa," kata ibu yang bernama Luis Florida Nona Ate, sambil mempersilakan kami duduk di teras rumahnya.

Lima menit berselang, mama Luis menyuguhkan kopi hangat ala Tana Ai. Kami pun meneguk kopi asli etnis Tana Ai Flores yang disuguhnya sambil berbincang soal kain tenun yang ada di papan informasi depan rumah itu. Kopi asli Tana Ai memang terasa nikmat. Aromanya menyegarkan.

Usai minum kopi, mama Luis langsung mengajak kami ke tempat pembuat kain tenun oleh kelompok Buen Bluduk. Letaknya tidak jauh dari rumah itu.

Tiba di tempat itu, kami langsung menyaksikan seorang mama yang sedang asik dan seriusnya menenun. Melihat kami, ia pun langsung berhenti dan menyapa kami. Kami berpegang tangan satu sama lain sembari tersenyum.

Kami langsung mengajak mama Rosia Retnada Mianti (47) yang adalah Ketua kelompok Buen Blutuk. "Kain yang sedang saya kerjakan ini adalah kain jenis Tana Ai. Ini memang kain tenus milik kami suku Tana Ai di Flores," jelas Mama Rosia kepada Kompas.com, Kamis (28/3/2019).


Mama Rosia menuturkan, kain tenun Tana Ai juga memiliki beragam motif. Ada motif Burung, Bineka Tunggal Ika, Naga, Cendrawasih dan masih banyak motif lainnya.

"Kami dalam kelompok menenun dengan motif masing-masing. Kalau orang pesan dalam jumlah besar, berarti kami membuat motif yang sama," tutur Mama Rosia.

Mama Rosia mengisahkan, setelah setiap hari menenun sendiri. Sebanyak 18 perempuan di dusun Habilogut, Desa Nangatobong, Kecamatan Waigete mulai berpikir untuk bersatu dan membangun kerja sama. Akhirnya disepakati dibentuk kelompok tenun dengan nama Bluen Butuk.

“Kalau ada kelompok, kami bisa saling membantu. Saya bisa pinjam sarung dari anggota lainnya bila membutuhkan. Antar anggota juga bisa saling belajar, sebab setiap orang memiliki keahlian menenun motif sendiri,” ungkapnya.

Kelompok tenun ini tidak terlalu mengharapkan bantuan pemerintah sejak berdiri Mei 2017. Setiap anggota dikenai iuran sebesar Rp 5.000 per bulan. Uang yang terkumpul dijadikan pinjaman bergulir serta membeli perlengkapan tenun.

“Kami baru dapat bantuan dari pemerintah desa tahun ini berupa alat celup, benang dan lainnya,” katanya.

"Hasil tenun kami sudah cukup banyak yang dibeli orang luar. Pas ada kunjungan pejabat di sini, mereka beli kain tenun Tana Ai," tuturnya.


Proses Cukup Lama

Mama Rosia menjelaskan proses menghasilkan satu kain tenun yakni siapkan benangnya, wolot (gulung benang), goan (menyusun benang), ikat benang, celup warna, kasih warna, buka ikatan, nipet (merapikan motif).

Kemudian, ada yang disebut ara (membuat kanji) supaya benangnya tidak lembek. Setelah itu, jemur dan kasih warna. Lalu, mulai menenun untuk jadi satu lembar kain tenun.

Mama Rosia mengatakan, untuk menghasilkan satu kain tenun membutuhkan waktu yang cukup lama. Ada yang sampai satu minggu juga ada yang satu bulan. Lamanya waktu menenun tergantung motif.

Ia mengatakan, kain tenun yang dihasilkan anggota kelompok dijual antar anggota seharga Rp 250.000 per lembarnya. Sementara bila dijual di Pasar Waigete mencapai angka Rp 500.000 sampai Rp 600.000 per lembarnya.

Mama Maria menceritakan bahwa menenun adalah keahlian yang dulunya wajib dimiliki para perempuan di Kabupaten Sikka sebelum menikah. Tidak heran hingga kini tetap menjadi sebuah keahlian yang diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi.

“Saya belajar menenun sejak kelas tiga Sekolah Dasar. Kami memang diajarkan orang tua sejak kecil agar bisa menenun. Anak-anak kami sekarang juga diajarkan bagaimana menenun sejak SD," kata Mama Rosia.

Mama Rosia berharap pemerintah desa dan Pemkab Sikka untuk membantu kelompok kain tenun Bluen Bluen Butuk.

"Jujur saja, kendala kami masalah dana untuk membeli bahan-bahan tenun seperti benang dan warna. Kalau alatnya kami sudah punya," kata mama Rosia.

Ia juga berharap pemerintah bisa membantu mempromosikan kain tenun Tana Ai di mata nusantara dan dunia.

Selain kain tenun Tana Ai, desa Nangatobong, Kecamatan Waiblama, Kabupaten Sikka masih banyak kekayaan-kekayaan kultural dan potensi alam yang perlu dieksplorasi.

https://travel.kompas.com/read/2019/03/30/115200627/melirik-cantiknya-kain-tenun-tana-ai-di-sikka-flores-

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke