KOMPAS.com – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yogyakarta mencatat, tingkat okupansi hotel tahun ini merupakan yang paling rendah selama PHRI berdiri.
Ketua PHRI Yogyakarta Deddy Pranowo Eryono mengatakan bahwa sebelum ada aturan larangan mudik dan penyekatan jalur, tingkat okupansi hanya 10-15 persen selama awal Mei 2021.
“Setelah ada aturan (larangan mudik), sekarang reservasi turun drastis. Per hari reservasi tinggal maksimal 0,6 persen. Parah banget. Ini rekor terendah selama PHRI (berdiri). Sebelum pandemi, tidak pernah serendah ini,” ungkapnya, Rabu (5/5/2021).
Adapun, jumlah reservasi memengaruhi tingkat okupansi sebuah hotel. Reservasi per hari maksimal 0,6 persen tersebut berada pada periode 10-15 Mei.
Dari persentase tersebut, Deddy mengatakan bahwa ada kemungkinan angkanya akan makin menurun.
“Semoga ada keajaiban, kita hanya berharap begitu. Kami PHRI sudah lakukan tiga hal yakni verifikasi protokol kesehatan, sertifikasi CHSE, dan semua karyawan sudah vaksinasi Covid-19 dua dosis,” ujarnya.
Menurut dia, tiga hal tersebut menunjukkan betapa siapnya hotel-hotel di Yogyakarta menerima tamu selama periode larangan mudik yakni 6-17 Mei.
Kendati demikian, Deddy mengatakan bahwa adanya aturan-aturan saat ini membuat pihaknya menjadi putus asa.
“Tidak ada senar lagi, bagaimana ide-ide untuk bangkitkan (perhotelan). Sekarang sisa semangat kami adalah ingin aparatur sipil negara (ASN) di Pemda seluruh Yogyakarta untuk bisa tinggal di hotel,” pungkasnya.
Berdasarkan data yang dipaparkan Deddy, tingkat okupansi hotel di Yogyakarta sejak awal 2021 adalah sekitar 30-40 persen. Tingkat okupansi paling tinggi terjadi pada Maret dan April dengan sebaran okupansi yang merata.
Meski begitu, Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta menyumbang lebih banyak angka dalam rata-rata tingkat okupansi di Yogyakarta karena terdapat lebih banyak hotel di sana.
Banyak hotel dan restoran di Jogja yang gulung tikar
Menurut informasi dalam Kompas.com, Jumat (4/2/2021), PHRI Yogyakarta mencatat, sebanyak 50 hotel dan restoran di sana terpaksa gulung tikar atau tutup permanen.
Adapun, alasan dibalik meruginya para pelaku pariwisata sektor hotel dan restoran tersebut adalah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Jawa-Bali oleh pemerintah.
“PPKM diberlakukan, sementara argo kita terus berputar. Tagihan listrik, tagihan bunga bank, BPJS yang harus dibayar. Padahal income kita sedikit, bahkan tidak ada. Nahm kami minta solusi dari pemerintah misalnya seperti stimulus,” ujar Deddy, Kamis (3/2/2021).
Saat pandemi mulai merebak di Nusantara, dia mengatakan bahwa pemerintah sudah memberi stimulus dalam bentuk pengurangan beban biaya listrik. Hal ini cukup membantu para pengusaha hotel dan restoran.
Deddy berharap, stimulus pengurangan biaya listrik dapat diberlakukan kembali. Terlebih saat ini sudah makin banyak jumlah karyawan yang di-PHK dan dirumahkan tanpa gaji sama sekali.
“Inginnya memang ada lagi, kami tidak munafik karena memang pernah menerima. Kami memang sangat butuhkan solusi dari pemerintah, terserah apa pun solusinya yang betul-betul bisa membuat kami bertahan,” ujarnya.
https://travel.kompas.com/read/2021/05/06/130100727/-larangan-mudik-buat-reservasi-hotel-di-jogja-anjlok-paling-parah-sejak-phri
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.