Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (1)

Kompas.com - 06/03/2008, 06:51 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Visa Oh Visa

Empat bulan sudah saya mengarungi Afghanistan, hidup dalam kegelapgulitaan negeri yang masih babak belur dihajar perang berkepanjangan, melintasi gunung-gunung pasir dan padang berdebu, mencicip teh hangat di pagi hari bersama pria-pria bersurban, dan wajah perempuan hampir sama sekali lenyap dalam benak saya. Empat bulan yang penuh petualangan, impian, penderitaan, dan kebahagiaan.

Sudah tiba saatnya untuk meneruskan perjalanan ke bagian lain dunia ini, ke negeri-negeri tersembunyi di pedalaman Asia Tengah. Ada Tajikistan, negaranya orang Tajik. Kyrgyzstan, negaranya orang Kirghiz. Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan, masing-masing punyanya orang Kazakh, Uzbek, dan Turkmen. Semua 'stan' ini satu per satu bermunculan di atas peta dunia tahun 1991, mengiring buyarnya adikuasa Uni Soviet. Semuanya adalah negara yang tersembunyi di tengah benua raksasa Eurasia, terkunci bumi, jauh dari lautan mana pun. Misterius, unik, eksotik.

Sebagai bekas Uni Soviet yang terkenal dengan bengisnya birokrasi, visa untuk masuk ke negara-negara itu tidak mudah. Apalagi untuk paspor Indonesia. Tajikistan adalah pintu masuk paling gampang bagi orang Indonesia, karena negara ini sudah memberlakukan visa on arrival untuk kedatangan dengan pesawat terbang. Tetapi, karena saya menempuh jalan darat dari Kabul hingga Dushanbe, saya harus bikin visa dulu di Kabul.

Kedutaan Tajikistan di Kabul, tersembunyi di barisan rumah-rumah di kompleks Wazir Akbar Khan. Kantornya tidak istimewa, seperti rumah biasa. Kalau bukan karena kibaran bendera mungil, saya juga tidak akan tahu kalau itu kantor kedutaan. Benderanya sudah kusam, seperti sudah bertahun-tahun tidak diganti. Kedutaan lagi kosong, kata tentara penjaga. Semua orang sedang berlibur pulang ke Tajikistan selama dua minggu, dari duta besar sampai staf yang paling kecil. Semua pengajuan visa harus menunggu sampai konsul datang kembali.

Saya baru tahu ada kedutaan seperti ini, yang bisa buka tutup sekehendak hati. Tetapi yang bikin saya cemas, visa Afghanistan saya sudah tidak cukup untuk menunggu dua minggu lagi. Gawat!

Harapan terakhir saya cuma KBRI. Hanya orang-orang dari Kedutaan KBRI-lah yang bisa menolong saya. Bapak Kasim dari bagian konsuler serta merta membuat surat pengantar untuk visa saya, sekaligus mengantar saya dengan mobil kedutaan. Bukan ke Kedutaan Tajik tetapi ke wisma duta besar Tajikistan. Sama dengan di kantor kedutaannya, bendera kecil dan kusam berkibar. Salah satu ikatannya lepas, sehingga bendera itu berkibar terbalik. Apakah memang begitu cara orang Tajikistan menghormati benderanya sendiri, tanya saya dalam hati.

Karena kali ini yang datang adalah sebuah mobil diplomatik, Pak Kasim tanpa kesulitan menembus penjagaan di pintu gerbang. Saya disuruh tunggu di dalam mobil saja.

Penuh cemas saya menanti. Kalau gagal mendapatkan visa ini, berarti saya akan tambah masalah di Afghanistan, karena visa turis saya berakhir tak lebih dari empat hari lagi. Detik-detik berlalu dengan lambat. Sepuluh menit berselang, baru Pak Kasim keluar lagi.

            "Jangan kuatir, kamu bisa dapat visa. Kamu mau yang mana, yang murah atau yang mahal? Kalau mau tunggu 3 hari, 150 dolar. Dua hari tunggu, 200 dolar. Hari ini juga dapat visa, 250 dolar."

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com