[Tayang: Senin - Jumat]
Istaravshan, Masa Lalu dan Masa Kini
Istaravshan baru saja merayakan hari jadinya ke 2500. Wow, usia kota ini sudah dua setengah milenium. Seperti layaknya kota-kota di Asia Tengah, Istaravshan juga berlomba-lomba merayakan angka jadinya yang ribuan tahun, seakan angka milenia itu menjadi tolok ukur tingginya peradaban.
Dua ribu lima ratus tahun yang lalu Iskandar Agung dari Makedonia datang menaklukkan negeri ini yang kala itu masih bernama Mug Teppa. Hari penaklukan itu diabadikan sebagai hari jadi Istaravshan. Namun, kedatangan Iskandar Agung yang tersohor tidak serta merta menjadikan kota ini berjaya sepanjang waktu. Istaravshan timbul tenggelam dalam halaman sejarah, kadang terpuruk, bahkan mati suri selama ratusan tahun. Baru pada abad ke-15 orang Persia datang membawa sinar peradaban baru ke wilayah ini. Masjid dan madrasah bermunculan.
Ketika Istaravshan merayakan 'ulang tahun'-nya yang kedua ribu lima ratus, Tajikistan membangun sebuah gerbang megah di atas bukit gundul Mug Teppa, tempat sang Iskandar Agung pernah berdiri memandangi barisan bukit yang sama gundulnya
Istaravshan, yang waktu zaman Rusia diganti namanya menjadi Ura Teppa, memang bukan tandingan Bukhara atau Samarkand. Tetapi umur bangunan-bangunan kuno di sini termasuk yang tertua di seluruh penjuru Tajikistan, cukup untuk dibanggakan sebagai khasanah peradaban nasional.
Pelajar madrasah di Istaravshan berpakaian trendy. Celana jeans, kaos berlengan panjang, dan kadang-kadang ditambah topi mungil khas Tajik. Tidak ada model talib ala madrasah Afghanistan yang tidak pernah lepas dari tiga hal – jenggot, surban, dan jubah.
Di dekat medresseh, juga tersembunyi di tengah labirin kota lama, berdiri masjid kuno Hauz-i-Sangin dari abad kesembilan belas. Saya datang untuk melongok-longok langit-langitnya yang berukir indah. Pintu pekarangannya terkunci.
Orang Istaravshan memang lebih religius dibanding orang Dushanbe. Di sini juga hidup warga etnis Uzbek, kira-kira 30 persen dari total penduduk. Bahasa Tajik bercampur dengan aksen kental bahasa Uzbek. Bahasa Tajik masih satu keluarga dengan bahasa Persia di Iran dan Afghanistan, tetapi kosa katanya lebih kuno dan tidak banyak mengalami perkembangan sebelum Tajikistan menjadi negara merdeka. Selama di bawah Soviet, bahasa Tajik hanya selevel bahasa daerah. Sekarang setelah menjadi bahasa nasional, kata-kata yang berasal dari bahasa Rusia diganti dengan kata-kata dari bahasa Farsi Iran. Saya kebetulan bisa bahasa Farsi, tetapi saya masih sering susah mendengar logat orang-orang sini karena aksen Uzbeknya yang terlalu kuat.
Walaupun ada madrasah dan masjid di mana-mana, di bulan suci Ramadan, orang juga bebas makan dan minum di jalan-jalan umum. Pedagang sambusa, pastel khas Asia Tengah berisi daging kambing bersimbah minyak, terus-menerus berteriak memanggil pembeli. Asap kebab memenuhi sudut-sudut pasar, menggoda iman. Jangankan sambusa, kedai kecil yang khusus menjual pivo (bir) dan vodka juga masih ramai dikunjungi peminum. Konsumennya adalah etnis Tajik dan Uzbek, sama-sama Muslim, tetapi sudah berkawan akrab dengan nikmatnya vodka yang ditawarkan bersama komunisme Uni Soviet.
Tentu saja tidak semua orang seperti itu. Ketika waktu berbuka puasa tiba, di sini disebut itfar, saya diajak sekelompok pria untuk mengakhiri puasa bersama-sama. Salah satunya bernama Islom, artinya 'Islam', pria tambun berumur empat puluhan.
"Mari, ber-itfar bersama kami," ia menawarkan keramahtamahan yang sudah menjadi budaya orang Tajik.
Bicara soal puasa dan Ramadan, bagi Islom berpuasa sudah menjadi bagian dari adat dan kebiasaan. Turun-temurun. Di antara semua negara Asia Tengah yang baru merdeka, Tajikistan bisa dikatakan yang paling kuat Islam-nya. Di negara ini pun, umat Muslim yang berpuasa menurut perkiraan Islom hanya 60 persen.
Adzan terdengar membahana. Islom berkomat-kamit membaca doa, sambil menengadahkan kedua telapak tangannya.
"Bismillah irrahman irrahim," ia mulai menyobek-nyobek roti nan dan membagikan kepada kelima pria yang duduk mengelilingi meja ini. Makanan yang tersedia di atas meja hanya salad. Saya memuji betapa sederhananya orang Tajikistan dalam ber-itfar.
Pelayan membawakan senampan besar bola-bola daging yang ukurannya segenggaman tangan, berenang-renang riang di atas bumbu berminyak yang pekat. Makanan yang luar biasa mewah dan sedapnya. Sayang, karena kebanyakan makan salad yang hanya pembuka itu, saya sudah tidak punya ruangan kosong lagi di perut untuk bola-bola daging.
Islom mengantarkan saya kembali ke penginapan. Jalanan Istaravshan begitu gelap. Tak ada lampu jalan sama sekali. Yang ada hanya malam yang pekat.
"Orang-orang Soviet itu tidak memberi lampu jalan sama sekali kepada Istaravshan," keluh Islom.
Saya jadi teringat sebuah pepatah Afghan, “Jangan menyumpahi gelap, tetapi nyalakan lilin!”
(Bersambung)