Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (12)

Kompas.com - 21/03/2008, 07:47 WIB

                                                                                                                                                                 [Tayang:  Senin - Jumat]


Eid Mubarak

Perjalanan dua jam dengan angkutan umum membawa saya ke desa Tughoz, tak jauh dari Ishkashim. Perjalanan ini menyusuri tepian Sungai Amu, perbatasan dengan Afghanistan. Seiris Afghanistan yang berada di seberang sana adalah Lembah Wakhan yang damai dan tenang. Pedesaan yang tidak pernah tersentuh hingar bingarnya perang dan pertumpahan darah di seluruh negeri. Gunung-gunung berbungkus salju seakan tidak berhenti sambung-menyambung. Desa-desa hijau di kaki gunung berhadap-hadapan dengan desa-desanya Tajikistan seperti bayangan cermin. Tetapi refleksi kehidupan yang di seberang sana, hidup dalam zamannya sendiri.

Jalan beraspal dari Ishkashim memang sangat nyaman dilewati dengan mobil. Saya teringat, tiga bulan yang lalu ketika saya berada di seberang sungai sana, di Afghanistan, perjalanan dengan jarak seperti ini harus ditempuh sehari penuh. Berkali-kali mobil yang saya tumpangi tersangkut aliran sungai, karena jalan berdebu tak beraspal seringkali diterjang banjir lelehan salju di puncak gunung. Naik mobil di sana hanya satu setrip saja lebih cepat daripada naik keledai.

Di Tajikistan sini, orang tidak perlu bersusah payah naik keledai untuk menempuh perjalanan seperti ini. Mobil tersedia. Yang tidak ada cuma uang dan bensin. Tuloyev Aliboy Jumakhanovich, 33 tahun, misalnya. Dia dulunya adalah supir, tetapi sekarang jadi penumpang yang duduk di samping saya. Dia punya mobil sendiri, tetapi mobilnya sudah lama tidak diisi bensin, yang harganya sudah 3.50 Somoni per liter. Di sini harga bensin jadi pembicaraan sehari-hari, dan lama-lama saya juga seperti menjadi tukang riset harga BBM dari desa ke desa. Gara-gara harga bensin yang mahal, penumpang pun jadi jarang. Sudah lama Aliboy kehilangan pekerjaan.

Walaupun demikian, hal itu tidak mengurangi keramahtamahannya. Aliboy mengundang saya ke rumahnya yang gelap. Rumah ini cukup besar, tetapi terlihat kuno, diterangi temaram cahaya petromaks.

            "Kami, umat Ismaili, tidak perlu pergi naik haji di Mekkah. Pemimpin agama kami berkata, menyediakan tempat tinggal dan makanan bagi musafir yang malang adalah ibadah haji kami," terang Aliboy.

Umat Ismaili, walaupun dapur sudah tak lagi mengepul dan roti sudah tak tersedia lagi di meja, tetap berkewajiban melayani tamu yang datang. Saya sangat tersentuh oleh kemurahan hati Aliboy, yang tidak kaya secara materi.

Di rumah kuno ini tinggal banyak orang. Ada ayah, ibu, istri, saudara-saudara, sepupu, dan anak-anaknya. Jumakhan, ayah Aliboy, sudah berumur 72 tahun, tetapi nampak masih kuat dan tangguh. Senyumnya terkembang di bawah kumis putihnya yang melengkung bagai busur panah. Saya dengar orang-orang di Pegunungan Pamir memang terkenal berumur panjang. Kakek Jumakhan misalnya, berumur 120 tahun. Rahasia umur panjang ini mungkin karena air pegunungan yang jernih dan udara yang sangat segar.

Adalah orang Rusia yang banyak membawa perubahan ke lembah ini. Dulu, orang-orang lembah Wakhan, baik di sisi Tajikistan maupun sisi Afghanistan, punya tradisi mengisap candu. Tetapi sekitar seratus tahun lalu, pemerintah Uni Soviet dengan keras menghukum para pemadat dan mengakhiri kebiasaan itu di sini. Di seberang sungai sana, di Afghanistan, yang adalah pengekspor candu dan ganja nomer satu di dunia, orang-orang masih mengisap candu dengan nikmatnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com