Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (26)

Kompas.com - 10/04/2008, 06:53 WIB

Si ibu kemudian menyuruh anak gadisnya untuk mencari bus yang mau berangkat. Tapi malam sudah larut. Tidak mungkin lagi ada bus yang berangkat. Di tempat bergunung-gunung seperti Kyrgyzstan ini, kendaraan hanya berjalan ketika ada sinar matahari. Melintasi kelokan-kelokan pegunungan di malam hari sangatlah berbahaya.

Saya melihat dompet saya. Isinya hanya kira-kira 1000 Som, sekitar 25 dolar saja. Dengan uang segini saya harus sampai ke Bishkek. Di sana nanti saya bisa menukar uang. Kecemasan membayang. Saya bahkan tidak punya cukup uang untuk bayar penginapan.

            "Ayo, ke rumah saya saja," kata ibu itu dengan ramah.
            “Tapi saya tak punya uang.”
            "Jangan khawatir. Kami sama sekali tidak mau uangmu."

Saya hanya bisa berucap terima kasih.

Ibu itu, dengan satu bayi di gendongan dan satu bocah balita di gandengan, berjalan di belakang seorang anak gadis yang cukup tinggi dan berpakaian agak ketat. Kami berempat berjalan bersama menyusuri jalan utama yang hanya lurus memanjang. Yang ada cuma gelap. Lolong anjing bersahutan tanpa henti.

Saya tidak tahu pula hendak ke mana. Ibu dan gadisnya ini hanya orang asing yang saya kenal di angkot, dan saya berada di salah satu kota yang paling berbahaya di kegelapan malam Kyrgyzstan.

Rumah ibu itu adalah rumah kayu, terlihat besar dari luar, tetapi sangat reyot dan muram di dalamnya. Ada beberapa pintu. Ibu itu mengetok salah satu pintu. Wajah seorang ibu tua menyembul dari dalam. Mereka berdua bercakap-cakap dalam bahasa Kirghiz yang sama sekali tidak saya mengerti. Si ibu tua lalu memberikan sebuah kunci. Kami pindah ke pintu yang lain. Si ibu membuka pintu dengan segerendel kunci yang ia dapatkan dari ibu tua, kemudian mempersilakan saya masuk.

Rumah besar yang saya lihat dari luar ini sebenarnya adalah apartemen tua. Si ibu yang saya kenal dari angkot itu adalah salah satu penghuni dari delapan keluarga yang tinggal di sini. Rumah ibu ini sangat kecil sebenarnya. Lantainya kayu, sudah rusak-rusak. Temboknya kotor. Lampu yang dipasang sangat suram. Ada bau tak sedap yang memenuhi seluruh ruangan ini, sepertinya berasal dari kakus yang tidak pernah disiram.

Si ibu kemudian mengundang saya masuk ke sebuah ruangan. Kami semua duduk di atas lantai. Si anak gadis menggelar kain di atas tanah. Kain ini, namanya dastarkon,semacam taplak, berfungsi sebagai meja makan. Si ibu kemudian menyiapkan kurpacha, bantal duduk, di sekeliling taplak. Kurpacha tebal berwarna merah ini sudah kumal dan bau. Gadis itu kemudian sibuk menjerang air, menyiapkan teh. Si bayi duduk manis, dan si bocah kecil bermain mobil-mobilan.

Sekarang waktunya makan malam. Tetapi gadis dan ibu itu tidak memasak. Bukan karena malas, tetapi karena mereka memang tidak punya apa-apa lagi untuk dimasak.

Di bawah remang lampu 5 watt, saya mulai mengenali si ibu dan anak gadisnya, kedua orang yang benar-benar asing yang mengundang saya begitu saja ke dalam rumah mereka yang sederhana ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com