“Dimana tempat wisata terkenal di Batam ini?” Petugas resepsionis di sebuah hotel di Batam bingung menjawab pertanyaan ini. Kalau Anda ke Batam, mungkin akan kesulitan mencari brosur tempat wisata mana yang baik buat city tour. Kota kepulauan yang bertetangga dengan Singapura ini memang belum giat mengekspos potensi wisatanya. Ikuti perjalanan Wartawan Kompas Pepih Nugraha menelusuri Batam dalam enam seri tulisannya.
___________________________
Berkunjung Ke Pulau "Nguyen"
“Dimana tempat wisata terkenal di Batam ini?” Itu pertanyaan pertama yang saya lontarkan pada resepsionis di
Kalau Anda ke Batam, mungkin akan kesulitan mencari brosur tempat wisata mana yang baik buat city tour. Untunglah saat berkunjung ke Patria Tour yang masih bersebelahan dan bahkan satu atap dengan Hotel
“Pulau Galang?” Tanya saya.
“Benar. Pulau Galang. Di
Ah, Pulau Galang. Pengungsi
Sejenak ingatan melayang ke masa lalu, 23 tahun lalu. Saat duduk di bangku perguruan tinggi, saya pernah membaca sebuah novel bersampul merah dengan judul, kalau tidak keliru, “Mendung Di Atas
Novel lawas itu bercerita tentang pengorbanan cinta gadis belia pengungsi
Nguyen. Kalau saja saat itu si pengarang tahu wajah aktris Malaysia Michelle Yeoh, mungkin ia akan sepikiran dengan Andrea Hirata dalam menggambarkan Nguyen sebagai si cantik Yeoh. Tapi saat novel itu disusun, Yeoh mungkin masih mengenakan celana monyet atau kemana-mana tanpa “bra” karena memang masih kanak-kanak.
“Benarkah reruntuhan barak dan bekas-bekas pengungsi Vietnam masih tersisa di Pulau Galang?” tanya saya lagi.
“Saya tidak bisa cerita banyak kecuali Bapak mengunjunginya,” katanya.
Ah Nguyen!
Saya coba mengingat lagi Nguyen di novel yang saya baca dan saya beli dari Pasar Palasari Bandung itu. Seorang gadis yang dengan sukarela menyerahkan kegadisannya kepada pria pribumi, yakni si tokoh aku, seorang perjaka “toloheor” (kata orang Sunda) alias play boy berat. “Aku yakin semua gadis
Si tokoh aku hanya main-main saja mencintai Nguyen, sebaliknya Nguyen mencintai si aku, pria
Nah, itulah novel. Tetapi beberapa saat lagi, saya akan segera menemui jejak-jejak maya Nguyen, sebuah sosok entah ada entah tiada, hanya penulis novel itu sendiri yang tahu. Apa pedulinya. Yang jelas, saya akan segera berkunjung ke Pulau Galang yang pada tahun 1979 dijadikan tempat berlabuh ribuan pengungsi Vietnam akibat prahara politik di sana. Di benak saya, Nguyen “masih hidup” dan ada di pulau itu.
Saya sepakat begitu saja untuk menyewa sebuah mobil travel seharga Rp 600.000 plus sopir. Kapasitas mobil itu 14 sampai 17 orang. Tetapi, saat mobil mulai melesat menuju jalan lurus dan mulus menuju Pulau Galang, hanya terisi tiga orang saja. Saya, istri saya, dan sopir bernama John. Setidak-tidaknya itulah yang tertulis di kartu namanya. Padahal nama aslinya Ahmad Furqon.
“Saya tidak tahu panggilan saya John, tetapi dulu guru SMP saya sering memanggil saya John,” kata Furqon, eh… John, saat mobil masih terhadang satu lampu lalu lintas di Jalan Imam Bonjol, Batam.
“Nah, kita siap-siap menuju Jembatan Barelang sebelum singgah ke Pulau Galang,” kata John.
“Apa istimewanya sebuah jembatan?” Tanya saya.
“Bukan ‘sebuah’, enam jambatan, Pak.”
Enam, sepuluh, seratus, berapapun jumlahnya jembatan sama saja… gumam hati saya saat duduk di samping kiri John. John mengemudi agak serabutan. Istri saya di belakang terperangkap kantuk akibat AC mobil yang sejuk, sementara di luar udara amat menyengat, padahal baru pukul 10.00, Selasa, 20 Mei 2008 lalu.
“Jembatan ini sekarang menjadi simbol Batam, Pak, bukan pabrik lagi,” katanya. Diam-siam saya keluarkan ponsel internet saya, menelusur di Google
“Jembatan itu dibangun atas ide dan inisiatif Pak Habibie ‘
John menoleh, “Kok Bapak Tahu?”
“Mulai dibangun tahun 1992 dan orang Batam menyebutnya ‘Jembatan Habibie’!”
“Ah, Bapak malah lebih tahu!”
Saya tertawa ngakak, entah mengagumi teknologi internet atau menertawakan ketidaktahuan John kalau saya tengah berselancar melalui ponsel berinternet. Saya yakinkan John bahwa meskipun tahu sejarahnya, tetapi belum tahu ujudnya.
“Sekarang saya ingin tahu ‘wajah’ jembatan itu,” kata saya.
“Cantik, Pak, kita segera menuju ke
(bersambung)