Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (88)

Kompas.com - 07/07/2008, 07:27 WIB

[Tayang:  Senin - Jumat]



Jejak Soeharto

Siapa sangka di negeri yang penuh dengan patung-patung sang Pemimpin Agung yang selalu ingin dipuja setiap detik, saya menemukan jejak mantan presiden kita, Bapak Pembangunan Soeharto, tersembunyi di sebuah sudut pasar.

Ashgabat adalah kota yang banjir semboyan. Saya sudah hapal di luar kepala apa itu ‘Ruhnama Jalan Hidup’ dan bahwa ‘Turkmenistan Selalu Merdeka dan Netral’. Saya sudah hapal lekuk-lekuk tubuh dan raut wajah Turkmenbashi. Dan saya tak perlu diingatkan lagi bahwa sekarang kita hidup dalam ‘Abad Emas’.

Saya memunguti serpihan-serpihan masa lalu saya dari wajah kota Ashgabat. Saya teringat akan Penataran Pancasila dan jargon-jargon masa lalu seperti era tinggal landas, adil dan makmur, gerakan non-blok, dan semboyan-semboyan penuh kebanggaan sebagai bangsa yang merayakan Indonesia Emas di bawah 'petunjuk' sang nahkoda, Bapak Pembangunan. Mungkin Turkmenistan memang negeri antah berantah yang penuh keajaiban. Tetapi kehidupan di sini bukan hal yang asing sama sekali bagi orang Indonesia.

Di pinggiran kota Ashgabat, sekitar delapan kilometer dari pusat kota, ada sebuah pasar kuno yang termashyur di seluruh penjuru Asia Tengah. Pasar ini bernama Tolkuchka Bazaar, yang dalam bahasa Rusia berarti ‘Pasar Tarik’.

Mengapa namanya demikian, saya pun tak tahu pasti. Tetapi yang jelas, setiap hari Minggu Tolkuchka Bazaar menjadi lautan manusia. Ribuan orang dari desa dan kota berbondong-bondong datang ke sini bersama barisan truk dan mobil yang menyemut sepanjang beberapa kilometer.

Sesaat saya melupakan Abad Emas. Saya kembali ke dunia Jalan Sutra. Gambaran para saudagar yang membawa segala macam jualan eksotis bermunculan dari segala penjuru padang pasir yang menghampar. Kawanan unta menyergap oase segar di Tolkuchka Bazaar yang riuh rendah oleh gemerincing uang dan tawa kemakmuran.

Zaman sudah berganti. Unta-unta sudah berganti truk Kamaz dan taksi. Para saudagar bersurban dan berjubah sekarang digantikan oleh generasi baru Turkmenistan yang menyongsong abad emas. Oasis padang pasir ini sekarang berwujud Tolkuchka Bazaar yang semrawut dan becek.

Barang yang dijual pun macam-macam. Kalau dulu sutra dari Tiongkok membanjiri negeri Asia Tengah, kini giliran barang-barang super murah bermutu parah dari negeri yang sama yang menjadi rebutan di sini. Mulai dari radio yang berisiknya minta ampun sampai celana jeans yang cuma bisa dipakai beberapa kali saja, semua ada. Mesin DVD dengan harga miring, atau gelas dan mangkuk cantik, semuanya campur baur jadi satu di lapangan luas Tolkuchka Bazaar. Pasar musiman ini seperti jawaban bagi warga Ashgabat yang masih mendambakan datangnya supermarket dan toserba.

Bahkan ada pedagang yang jauh-jauh datang dari desa di padang pasir sana dengan membawa televisi bekas model tahun 70’an dengan layar super cembung dan barisan kenop-kenop untuk memilih channel. Barang bersejarah ini, yang ternyata masih fungsional, membuat saya terkenang  indahnya masa kecil dulu.

Sudut lain pasar Tolkuchka adalah sebuah dunia yang sama sekali berbeda. Di tengah tanah lapang, permadani-permadani merah menyala berjajar, ditebar dan digantung di semua sudut, membawa kemeriahan pada monotonnya padang pasir. Karpet-karpet Turkmen, buah karya jari-jari lincah para perempuan dari penjuru negeri, adalah kebanggaan tak terkira dari bangsa ini. Coba tengok bendera Turkmenistan. Keindahan motif permadani pun ikut masuk ke bendera, dan seperti kata Turkmenbashi, peradaban karpet menjadikan bendera Turkmen sebagai bendera tercantik di dunia.

Kemeriahan warna menyala di tengah padang pasir ini menjadi semakin mistis dengan segala pernak-pernik tradisi. Nenek tua yang semua giginya  bersepuh emas tersenyum manis menawarkan koleksi koin zaman Lenin, bros palu arit, dan duit kertas Tsar. Si nenek, mirip ahli nujum, berikat kepala dan berbaju warna-warni membara penuh sulaman cantik. Di hadapannya terhampar segala macam tas tangan, topi, baju, kain, yang konon kabarnya semua hasil sulamannya sendiri.

Gelora padang pasir yang mendesir-desir di sanubari saya semakin hidup ketika saya menemukan pasar jubah dan telpek, topi tradisional Turkmenistan dari bulu domba yang bentuknya mirip rambut kribo Ahmad Albar. Tak peduli di musim dingin atau panas, seorang pria Turkmen sejati tak akan pernah lepas dari telpek.

Mekan Ataliew, pedagang telpek berumur 25 tahunan ini, langsung sumringah begitu tahu saya dari Indonesia.

           “Kamu tahu, dulu bapakku pembuat telpek terkenal di seluruh Turkmenistan. Bapak pernah diminta Turkmenbashi untuk membuat telpek istimewa untuk presidenmu ketika mengunjungi Turkmenistan,” ujarnya bangga
           “Turkmenbashi kemudian menghadiahkan telpek bikinan Bapak kepada Presiden Soeharto. Sampai hari ini aku masih menyimpan guntingan koran dan majalah tentang berita itu,” sambungnya.

Saya baru tahu kalau Presiden Suharto pernah ke Turkmenistan. Mungkin Turkmenbashi sempat berguru juga pada presiden kita. Serpihan-serpihan memori saya yang saya punguti dari penjuru Ashgabat selalu mengingatkan saya pada satu nama – Soeharto. Tetapi apa pun itu, saya merasakan kebahagian yang tak terlukiskan terpancar dari bola mata Mekan ketika berkisah. Sebuah kegembiraan untuk berbakti pada sang Pemimpin.

Apakah rasa gembira Mekan yang tiba-tiba meluap itu karena menemukan teman seperjuangan?

           “Turkmenbashi adalah pemimpin yang baik,” kata Mekan, “dan saya yakin Soeharto juga demikian.”

Karena menganggap saya sebagai pengikut setia Soeharto yang jauh-jauh datang dari negeri seberang, Mekan mengikuti jejak ayahnya – menghadiahkan saya sebuah telpek kualitas tinggi, hangat di musim dingin dan sejuk di musim panas.

Biarlah Mekan tetap bahagia dalam keyakinannya. Saya tak sampai hati merusak mimpinya dengan membuat makalah perbandingan Soeharto dan Turkmenbashi.

Sinar matahari mulai sayup-sayup menerangi bumi ketika ingar-bingar Tolkuchka Bazaar mulai berkurang. Para pedagang permadani mulai menggulung tikar-tikar cantik merah menyala, mengantarkan padang pasir ini kembali pada alamnya yang asli.

Jalan kembali ke Ashgabat penuh sesak oleh mobil dan truk. ‘Abad Emas’, ‘Ruhnama – Jalan Hidup’, ‘Kemerdekaan dan Netralitas’, ‘Turkmenbashi Pemimpin Agung’, dan segala macam wejangan maha suci tertulis besar-besar di barisan baliho dan papan kampanye. Setelah sempat berkelana ke masa lalu, akhirnya saya kembali juga ke ‘dunia’ yang sebenarnya.

(Bersambung)

____________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com