Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (95)

Kompas.com - 16/07/2008, 06:10 WIB

Perbatasan Afghanistan terletak di sebuah desa bernama Hairatan, sekitar 20 menit perjalanan dengan marshrutka. Saya pun sebenarnya tidak tahu pasti kalau saya bisa menyeberang di sini, karena dulunya perbatasan ini hanya dibuka untuk mobil-mobil PBB, diplomat, atau konvoi militer. Yang menjadi pegangan saya adalah para satpam di kedubes Afghan di Tashkent yang bersumpah-sumpah bahwa perbatasan dibuka untuk umum.

Dengan langkah penuh keragu-raguan, saya menuju pintu gerbang perbatasan. Tentara Uzbekistan yang tinggi dan gagah membolak-balik paspor saya, kemudian menyuruh saya menunggu. Menunggu apa? Saya juga tidak tahu. Tidak ada orang lain di perbatasan ini. Sunyi, misterius, mencekam.

Tiga puluh menit berselang, bus angkutan datang. "Naik!" kata seorang tentara. Apakah perbatasan masih jauh sekali sampai harus naik bus dulu? Ya. Dari pintu gerbang tadi ke perbatasan yang sebenarnya masih sekitar satu kilometer lagi. Tetapi bus di sini juga mencari untung. Saya membayar 2.000 Sum untuk tumpangan sampai ke pos imigrasi.

Kantor imigrasi Uzbekistan sepi sekali. Tidak ada seorang pun. Memang tak ada yang mau dan bercita-cita berkunjung ke Republik Islam Afghanistan. Baru pertama kali saya melihat perbatasan internasional yang sesunyi ini.

Dari balik ruangan, datang seorang gadis Uzbek yang tinggi langsing memakai seragam polisi perbatasan, kemeja putih dengan rok abu-abu setinggi lutut, mirip seragam anak SMA. Rambutnya keriting, panjang dan lebat, mengingatkan saya pada Ahmad Albar. Mungkin ini terakhir kali saya melihat perempuan seperti ini. Di seberang sungai sana, perempuan dibungkus rapat-rapat dalam burqa dan menjadi makhluk-makhluk yang sepenuhnya anonim.

Saya disuruh mengisi formulir deklarasi, yang semua pertanyaannya dalam bahasa Rusia. Dua ratus tiga puluh dolar, itu semua uang yang saya punya. Saya tulis dengan sejujur-jujurnya, dan saya tanda tangani.

Bagian yang paling ribet adalah bea cukai. Pertama-tama tas ransel saya diperiksa dengan sinar X. Kemudian datang tentara Uzbek yang masih muda, tinggi dan gagah, meminta saya menunjukkan satu per satu barang yang saya bawa. Ini bukan pengalaman pertama, saya sudah terbiasa dengan perbatasan Turkmenistan.

Satu per satu barang ditanyakan untuk apa dan mengapa. Saya membawa banyak buku. Setiap buku saya harus mengisahkan apa isinya. Ada buku tentang sejarah Persia, yang semua ditulis dalam huruf Arab. Tentara yang tidak bisa baca huruf Arab sama sekali semakin membuat repot dengan berbagai pertanyaan tentang agama. Untung saya tidak bawa buku favorit yang berjudul "Jihad", bisa-bisa saya digiring ke ruang interogasi. Terus, apa lagi ini? Saya membawa uang logam dan duit kertas dari Iran dan Turkmenistan. Ini mungkin termasuk barang antik yang tidak boleh 'diekspor'. Si tentara berpikir sejenak, kemudian memanggil lagi Mbak yang rambutnya mirip Ahmad Albar.

Uang logam lama Iran semuanya bertulis huruf Arab. Nampak kusam-kusam, mulai dari zaman Shah sebelum Revolusi Iran. Sialnya lagi, setiap keping uang tertera angka tahun Persia, yang 700 tahun ketinggalan dari tahun Masehi. Si polisi wanita geleng-geleng kepala. Ini harus disita. Harus diteliti dulu apakah termasuk barang kuno, peninggalan museum, barang langka, atau bukan. Dia mengambil tujuh keping uang Iran untuk 'karantina'.

Bukan hanya buku dan uang, bahkan baju-baju pun diperiksa tiap sakunya, apakah ada barang yang disembunyikan. Pakaian dalam pun diteliti lekat-lekat oleh si tentara muda itu. Saya tidak iri dengan pekerjaannya. Yang saya heran mengapa dia harus seteliti itu. Apa yang dicari? Apa saya dicurigai akan menyelundupkan peluru ke Afghanistan? Atau buku-buku terlarang?

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com