Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (25): Runyam

Kompas.com - 05/09/2008, 07:41 WIB

Sejak pemerintah China berkuasa, pembangunan gencar melanda seluruh penjuru Tibet. Jalan tol, listrik, pendidikan, layanan kesehatan, pemantapan ekonomi. Inilah yang disebut seorang kawan saya dari Sichuan sebagai ‘membeli hati si anak tiri’.. Pembangunan gencar mengangkat derajad hidup orang Tibet, dari masyarakat terbelakang yang hidup dalam surga spiritual mereka menuju ke kehidupan yang lebih modern dengan membanting tulang memenuhi kebutuhan materi. Tibet sudah jauh berubah.

Petualang Austria Heinrich Harrer yang pernah hidup bersama Dalai Lama, dalam bukunya berjudul “Seven Years in Tibet” terbitan 1952, menulis:

“Agama Kristen dan Buddha punya banyak kesamaan. Keduanya berdiri di atas dasar kebahagiaan di dunia lain, keduanya mengajarkan kesederhanaan dalam hidup. Tetapi ada perbedaan dalam kenyataannya hari ini. Di Tibet, orang tak perlu diburu-buru dari pagi sampai malam oleh apa yang disebut ‘peradaban’. Di sini, agama menguasai sebagian besar kehidupan individual, seperti dunia Barat di Zaman Pertengahan.”

Lima puluh tahun lebih berselang, materialisme, ‘peradaban’, tuntutan duniawi, juga turut menjadi bagian kehidupan orang Tibet, diperkenalkan oleh para pembaharu Tiongkok. Kini, bersama saudara-saudara setanah air, mereka harus turut membanting tulang demi kemajuan zuguo - ibu pertiwi.

           “Kami kecewa datang ke Lhasa,” kata turis Israel yang perempuan, ketika kami menikmati makan malam bersama di restoran Tibet di desa Shegar.
           “Lhasa sudah tak ada bedanya dengan kota-kota lain di China. Di mana-mana orang China, dan semua orang juga sudah gila uang.” Ia mengeluhkan betapa Tibet sudah terkormesialisasi, semuanya uang, uang, dan uang.

Saya menimpali,
          “Di pusat kota Lhasa, saya melihat lebih banyak orang Sichuan dan Uyghur daripada penduduk Tibet. Makanan Sichuan merajalela. Lebih mudah menemukan Mapo Doufu daripada warung tsampa – makanan  asli Tibet.”

Kawannya, pria Israel yang tinggi besar, membisikkan tentang Dalai Lama dan kontroversi Panchen Lama. Informasi adalah barang sensitif di sini. Semua situs internet yang berhubungan dengan Tibet dan tidak sejalan dengan versi pemerintah China diblokir, dari situs berita sampai blog, dari situs berbagi video sampai galeri foto, apalagi situs resmi pemerintahan pengungsian Tibet pimpinan Dalai Lama.

Bicara politik macam ini sangat berbahaya di Tibet. Walaupun sudah berbisik-bisik, dalam bahasa Inggris di dusun kecil macam Shegar, dan sesekali mengalihkan pembicaraan ke soal turisme, tetap saja risikonya sangat tinggi.

Tiba-tiba, meja digebrak. Seorang pria Tibet berseru ke arah kami, dalam bahasa Inggris yang kasar, “Kalau kalian tidak suka Lhasa, buat apa kalian datang ke Tibet? Kami tidak butuh orang macam kalian di sini!”

Saya berusaha menenangkannya, menjelaskan bahwa ini salah paham. Yang kami bicarakan bukan Lhasa, tetapi tentang restoran Sichuan di Lhasa. Lelaki Tibet itu, yang ternyata adalah pemandu wisata, mengira saya adalah penerjemah kedua turis bule itu.

           “Lain kali, kamu jelaskan yang benar kepada tamu-tamumu. Tibet itu bagian dari China! Dari dulu, sekarang, dan selamanya!”


(Bersambung)


_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com