Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (34): Tashi Delek

Kompas.com - 18/09/2008, 06:43 WIB

          “Aku adalah Guru Agung Rinpoche. Masa kamu lupa?” Yang saya ingat, Rinpoche adalah nama lain Gunung Kailash.

Selanjutnya, bak orang yang begitu gembira berjumpa kembali dengan seorang sahabat yang hilang, ia terus menumpahkan seluruh isi hatinya. Katanya ia sedang dalam perjalanan menuju Dharamsala. Di sana ia adalah guru besar, tinggal di kuil terkenal. Di sana pulalah Sang Dalai Lama akan memberikan bantuan ke atasnya.

Antara percaya dan tidak, saya menawarinya untuk sekadar minum teh. Siapa tahu memang ia seorang kawan lama yang terlupakan. Pria ini langsung menggiring saya ke sebuah restoran. Tak salah pilih, restoran paling mewah di jalan raya New Road.

Sementara menunggu datangnya teh, si bapak botak terus bicara tanpa henti tentang masa lalunya. Tentang welas asih Dalai Lama, tentang kisah perjalanannya untuk berjumpa sang pemimpin jiwa, dan tentang perjuangan bangsa Tibet. Ia kemudian mengeluarkan seuntai kalung dari balik kemejanya.

           “Ini, ambillah ini,” katanya sambil memaksa menggenggam untaian kalung manik-manik putih itu. Sepertinya kalung biasa, tetapi baginya ini adalah jimat pusaka.

           “Kalung ini menemani hidupku. Dua puluh tahun aku tak pernah lepas darinya. Kalung ini adalah pemberian Dalai Lama. Ketika bersamanya aku merasakan kedamaian tak terkira. Aku merasa Yang Mulia Dalai Lama ada di sisiku, setiap saat.”

Tidak, barang ini terlalu berharga buat saya. Saya tak bisa menerimanya.

          “Aku memberikan untukmu. Aku tahu Budha telah mengatur jalan perjodohan kita. Benar-benar aku tak menyangka bisa bertemu kamu di sini, di tengah keramaian kota Kathmandu. Bayangkan. Bukankah ini arti perjodohan yang sebenarnya?”

Tergerak oleh ketulusan hatinya, saya mengantungi kalung pemberiannya. Bapak ini terus bercerita tentang derita hidup di dataran China, tentang pelariannya sampai ke Dharamsala, dan welas asih Budha.. Karena ia pernah tinggal di China, saya langsung mengajaknya bercakap-cakap dalam bahasa Mandarin. Mungkin akan lebih mudah baginya untuk mengekspresikan diri dengan bahasa China daripada menggunakan bahasa Inggris yang berantakan. Tetapi ia selalu menjawab dalam bahasa Inggris.

           “Tentu saja aku bisa bahasa Mandarin. Tetapi aku benci Tiongkok. Benci sekali. Tak sudi aku bercakap bahasa mereka. Kamu tahu, dua puluh tahun! Dua puluh tahun, aku dipenjara oleh tentara China. Aku disiksa. Keluargaku dibantai. Aku sebatang kara.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com