Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (42): Freak Street

Kompas.com - 30/09/2008, 07:53 WIB

Yang dimaksudnya dengan ‘awan’ adalah orang bule yang tiba-tiba mendapat ‘pencerahan’ setelah bertemu ‘guru’ suci di Dharamsala tempat Dalai Lama sekarang mengungsi.

Dua gumpal ‘awan’ versi Lam Li adalah sepasang orang Rusia. Keduanya memakai jubah kuning, seperti biksu Tibet. Mereka berguru di ashram – padepokan pertapaan – di suatu tempat di India. Kini, hidup mereka sudah berubah, mencapai titik di mana kehidupan duniawi tampak tak lebih dari kesenangan semu di alam tak abadi.

           “Lihatlah butir-butir rudraksha ini,” pria Rusia itu dengan nada bicara mengambang menunjukkan koleksi biji pohon sejenis kenari, “ini rudraksha suci, bersudut tujuh dan sembilan. Saya sudah mencari di mana-mana, susah sekali mendapatkan yang sudutnya seperti ini.”

Tiap jumlah sudut butir rudraksha ada maknanya, ada kemujuran yang dibawa. Di mata saya, semua tak lebih dari koleksi biji-bijian biasa.

Tetapi kita mungkin tak mampu memahami kehidupan mereka yang ada di awang-awang. Si perempuan Rusia, berkepala botak dan berbaju biksu, dengan penuh perhatian memilah-milah biji rudraksha. Seperti itulah waktu mereka berlalu sepanjang hari.

          “Yang paling parah,” kata Lam Li, “mereka berdua menghabiskan waktu berjam-jam di pagi hari untuk memasak sesaji.”

           “Bagaikan gumpal awan yang berhembus ke sana ke mari,” Lam Li melukiskan dua orang kawannya itu, “mereka tak punya beban hidup. Angin berhembus ke barat, awan ikut ke barat. Angin berhembus ke timur, awan pun ke timur.”

Pandangan mata mereka kosong, bicara mengambang, dan setiap saat mereka berada dalam kebahagiaan sempurna.

Mereka adalah generasi baru hipi, orang-orang Barat yang sudah bosan dengan kemunafikan hidup dan menemukan kembali makna kesejatian dalam kebijaksanaan kuno dari negeri timur, tersembunyi dalam alam mistis dan hembusan spiritual dari negeri Hindustan. Mereka menghabiskan waktu berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun di ashram,  bermeditasi di bawah bimbingan ‘guru’ suci. Kata ‘guru’ dalam bahasa Indonesia mengalami perluasan makna dari kata aslinya dalam bahasa Sanskrit. Guru, lebih merujuk pada pembimbing spiritual, berasal dari kata gu yang artinya kegelapan dan ru, menghilangkan. Pasangan ‘gumpalan awan’ yang sudah ‘tercerahkan’ ini, dengan wajah pucat dan pandangan kosong, langkah kaki ringan seperti terbang, naik ke loteng untuk memulai ritual mereka – mengisap ganja. Nikmatnya seperti di nirwana.

Para pengelana spiritual, mencari kebijaksanaan maha tinggi di negeri-negeri kuno di bawah kaki Himalaya, menemukan gaya hidup alternatif – kepala botak, baju biksu, hashish dan ganja, meditasi, sembahyang dengan ratusan jenis sesaji, mengoleksi ajimat dari biji pohon. Mata mereka seperti terbuka, menemukan dunia spiritual yang mengalahkan kehidupan modern yang cuma logika dan materialisme.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com