Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (54): Ladang Ganja

Kompas.com - 16/10/2008, 06:47 WIB

           “Kalau tak ingin lelah, mengapa harus membawa barang segini banyak?” saya heran.

Jörg dan Oi Lye sempat membandingkan siapa yang lebih jagoan, membawa beban paling berat. Sedangkan bawaan saya, cuma tas punggung kecil berisi satu jaket, dua buku, dan sikat gigi.

           “Justru inilah bagian dari permainan,” kata Jörg, “ketangguhan menyelesaikan sirkuit ini dengan beban berat.”

Saya mencoba menggendong tas Jörg. Berjalan selangkah pun saya tak mampu. Yang membawa tas begini berat biasanya sudah memanggil porter atau menyewa keledai. Kedua kawan perjalanan saya ini sungguh tangguh.

Gunung-gunung salju menjulang tinggi, menyembulkan warna putih yang agung di langit yang biru, dibalut selendang mega. Sungguh indah perjalanan ini jika dinikmati perlahan. Setiap ada yang kelelahan, kami bertiga berhenti, duduk sejenak. Tak ada yang memburu waktu, tak ada yang mengejar target. Malah porter yang mengangkut barang berat berjalan jauh lebih cepat daripada kami. Peta yang dipegang Jörg mencantumkan juga waktu tempuh dari tiap desa ke desa sepanjang jalan. Ini adalah waktu tempuh rata-rata trekker normal. Kecepatan kami selalu jauh di bawah angka rata-rata ini.

Kami berhenti di tiap desa, menengguk teh lemon panas. Apel di pegunungan juga segar. Renyah seperti kerupuk. Airnya manis, dingin. Tak bisa dibandingkan dengan apel di Kathmandu yang panas dan lembek.

          “Chicken Express!” Jörg berseru ketika seorang porter pengangkut ayam melintas.

Ia menggantungkan sebuah lemari berisi ayam di punggungnya, bertumpu pada kepalanya yang tahan banting. Di pegunungan tinggi ini, ayam tak hidup. Gara-gara turis yang ingin mengecap makanan mewah di desa-desa puncak gunung, ayam harus didatangkan dari dataran yang lebih rendah, dengan jasa porter yang berjalan berhari-hari membawa lemari ayam. Mereka melewati lintasan ini setiap hari, beratus kali, hanya demi beberapa ratus Rupee. Sedangkan kami, bersakit dan berpenat dengan beban di punggung, melintasi jalan naik turun, hanya untuk menikmati hidup.

Di Dusun Danakkya, sore hari, Jörg benar-benar menikmati hidupnya. Ganja yang dilinting dengan rokok dihisap dalam-dalam, dihembuskan. Saya terbatuk kena baunya.


(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi! 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com