Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (99): Pelecehan

Kompas.com - 19/12/2008, 07:34 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]


Pagi yang gelap gulita di kamar losmen yang gelap. Saya justru mengalami peristiwa paling memalukan dalam hidup saya di sini.

Saya terbaring lemah di atas kasur. Sejak kemarin malam hingga pagi ini, saya mengalami diare hebat. Sebenarnya di India, diare sudah menjadi akrab dengan kehidupan sehari-hari saya di sini. Satu minggu kalau tidak diare malah aneh rasanya. Tetapi kali ini, bukan hanya diare, tubuh saya begitu lemah sampai bangun pun susah.

Sebuah kamar sempit di lantai dua losmen murah adalah tempat tidur saya. Untuk ke kamar mandi pun saya harus keluar, berjalan beberapa meter, turun tangga, dan membuang hajat. Kali ini, untuk naik dan turun tangga pun rasanya sudah menjadi penderitaan hebat. Mengapa saya jadi selemah ini? Saya tak tahu jelas. Mungkin kurang minum, tetapi sekarang untuk keluar beli air minum pun saya tak kuat lagi.

Gelap gulita. Listrik padam lagi, seperti biasa. Di kota ini, karena ada krisis listrik, setiap pagi listrik dipadamkan selama dua jam. Ini pemadaman rutin, tetapi membuat saya semakin menderita.

Sinar matahari tak masuk ke kamar saya yang lebih mirip penjara ini. Kipas angin tak berputar. Gerah. Pengap. Saya menghirup nafas perlahan, menghembus lagi. Perut rasanya sakit sekali, rasa sakit yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya.

Untuk menghantar sedikit terang ke dalam kegelapan ini, serta memberikan udara segar dalam kamar pengap ini, saya membuka pintu kamar. Sambil berbaring, saya membaca beberapa buku.

Tiba-tiba datanglah manajer hotel.
           “Kya hua, bhai? Ada apa?” tanyanya.
           “Mujhe bhi maklum nehi. Aku juga tidak tahu. Perutku sakit sekali, sudah sejak pagi. Dari tadi peccis – diare. Mungkin kurang air. Bisa minta tolong belikan minuman dingin di luar?”  jawab saya setengah merintih.   

Ketika menyelesaikan kalimat ini, saya sudah kehabisan tenaga.

Manajer hotel yang kurus ceking berkumis tebal itu merapatkan telinganya di atas perut saya. Saya merintih perih.

           “Dard hai! Pet bohat dard hai! Sakit sekali. Perut sakit....!”

Pria itu, bak dokter ahli, langsung menyingkap kaos saya.
           “Kamu mau dipijat?” tanyanya.

Saya tak menjawab. Garbar, kekacauan, yang mengaduk-aduk perut  sudah membuat saya kehilangan akal sehat.

Tangannya mulai memijati bagian perut saya, mulai dari pusar terus ke bawah. Pijatannya sakit, tubuh saya sampai menggelinjang. Tetapi orang itu tak berhenti, ia terus memijat, kini lebih perlahan. Saya sudah terlalu lemah untuk melawan. Saya hanya bisa berharap kesembuhan dari pijatan lembutnya. Moga-moga ini bukan harapan kosong.

          “Kamu tahu Ayurveda? Itu teknik pengobatan tradisional India. Pasti sembuh!” katanya meyakinkan.

Saya sering mendengar tentang Ayurveda dan tahu kalau teknik penyembuhan ini berasal dari kitab kuno umat Hindu. Tetapi saya tak tahu bagaimana bentuk pastinya. Saya pun tak yakin kalau manajer hotel yang penampilannya sembilan puluh persen meragukan ini bisa Ayurveda.

Tangan kanannya memijat dengan gerakan seperti mencubit. Tangan kirinya berusaha memelorotkan celana dan celana dalam saya.

Apakah Ayurveda itu mengobati sakit perut dengan memijat alat genital? Sepertinya tak masuk akal. Dengan serta merta saya menarik kembali celana saya yang dipelorotkan.

Tetapi gerakan sesederhana itu sudah membuat saya kehabisan nafas. Saya merasa pijatannya terus di daerah perut saya, sampai akhirnya saya tak berdaya lagi ketika ia melakukan pijatan yang ia mau. Moga-moga saja ini benar-benar Ayurveda, batin saya, mengharap kesembuhan diare dan sakit perut yang melilit ini.

          “Perutmu lemah sekali,” kata orang berkumis itu, “coba lihat perut saya. Kuat kan?” Dia membuka bajunya, meminta saya meraba-raba. Kemudian membuka celananya, meminta diraba juga.

Saya berbalik badan dan tengkurap. Dasar orang sinting.

          “Terserah,” saya mulai ketus terhadap orang yang hanya memanfaatkan tubuh saya, “saya tidak kuat pegang-pegang. Tolong belikan minuman jus buah di bawah, nanti saya bayar.”

          “OK, Sir,” pria itu segera mengancingkan bajunya dan memasang lagi celananya, keluar dari kamar.

Saya merangkak turun dari ranjang, menutup pintu, mengunci, merangkak kembali ke arah ranjang.

Sepuluh menit, dua puluh menit, hingga satu jam berlalu.

Minuman jus yang saya pesan tak kunjung datang. Tenggorokan saya sudah kering sekali. Saya kembali merangkak turun dari ranjang, merangkak keluar kamar, merangkak menuruni tangga sampai ke lobi, sambil mendesis ke arah orang itu, “Hei..., mana minumanku?”

Manajer kurus dengan topi sport itu langsung menepuk jidatnya.

          “Aduh! Lupa!”

Entah apa yang dilakukan dia setelah meninggalkan kamar sampai lupa pesanan saya? Mungkin ke kamar mandi dulu untuk melampiaskan hasrat kotornya?

Hati saya berontak. Saya ingin menangis tapi tak bisa. Tubuh lemah ini mengurung emosi rapat-rapat. Saya merasa terhina, mengapa harus dilecehkan dalam keadaan lemah seperti ini. Mengapa saya harus mengalami sharam, rasa malu yang luar biasa yang tidak pernah saya alami sebelumnya, di kala saya sudah terlalu lemah tak kuat berdiri lagi? Hari ini hati saya diselimuti kegelapan.


(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com