Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (100): Sakit Kuning

Kompas.com - 22/12/2008, 07:15 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Tubuh saya lemas. Tenggorokan kering. Tak ada nafsu makan sedikit pun.. Saya sempat muntah beberapa kali, yang keluar hanya cairan bening.

Dengan keadaan yang lemas ini saya masih harus bersaing dengan puluhan penumpang yang tidak sabaran. Semua orang punya karcis, seharusnya tidak perlu berebut. Tetapi jangan berdiskusi soal kebiasaan buru-buru. Orang India selalu berebut setiap kali naik atau turun kendaraan, seolah-olah mereka adalah manusia super sibuk yang selalu dikejar waktu. Padahal di saat lainnya biasa berleha-leha membuang waktu yang tak berharga.

Saya membeli karcis yang agak mahal, sebuah ranjang yang bisa digunakan untuk tidur sepanjang perjalanan panjang dari Jaipur ke kota Mumbai di selatan. Satu kompartemen terdiri dari empat ranjang, masing-masing dua susun berhadap-hadapan. Saya memilih ranjang di bawah karena takut terjatuh kalau tertidur dalam kereta yang berguncang-guncang hebat.

Perjalanan ini melintasi jarak 1.200 kilometer, membuat saya akan meloncat langsung dari warna-warni tradisional Rajasthan menuju kota metropolis Mumbai yang sering muncul di film-film glamor Bollywood. Tetapi saya tidak berpikir apa-apa. Saya hanya ingin tidur sepanjang perjalanan ini.

Tak bisa tidur. Ranjang bawah tempat tidur saya berfungsi sebagai tempat duduk para penumpang sekompartemen. Mereka makan dan minum sepanjang perjalanan. Bocah-bocah bersenda gurau, menumpahkan bumbu masala ke tempat tidur saya. Kereta ini penuh sesak. Banyak yang tidak kebagian tempat duduk terpaksa duduk di lantai kereta yang kotor. Saya tak bisa membayangkan bagaimana nanti penumpang yang banyak ini bisa tidur melewatkan malam sementara tempat yang tersedia begitu terbatas.

Pengemis juga memenuhi kereta. Mereka berjalan dari gerbong ke gerbong meminta belas kasihan para penumpang. Ada yang membawa tambur, melantunkan lagu-lagu menggumam bernada fals, dan ‘menodong’ uang receh dari penumpang. Banyak pula bocah-bocah yang menawarkan makanan kecil.

Saya tidak menikmati perjalanan ini. Yang saya inginkan hanya tidur. Bahkan ketika petugas kereta menjual kotak makan malam, saya tak tertarik sama sekali.

           “Ayo, makanlah bersama saya,” seorang pria muda menawarkan.
           Saya menggeleng.
           “Ayolah, jangan sungkan-sungkan. Kamu adalah tamuku!”

Ada dua alasan saya menolaknya. Pertama, jangan sekali-sekali menerima makanan dari orang tak dikenal di kereta, seperti dikatakan pemuda ini sendiri kepada saya beberapa jam yang lalu. Kedua, saya memang tidak lapar sama sekali, entah mengapa.

Setelah penantian yang begitu panjang, akhirnya waktu tidur pun tiba. Saya langsung terlelap dalam kegelapan, meringkuk sambil memeluk tas kamera. Tiba-tiba di samping saya menyeruak sesosok badan.

           “Ayolah, kawan,” suara pemuda yang tadi memaksa saya berbagi makanan dengannya, “saya tak punya tempat tidur. Geserlah sedikit, kita tidur sama-sama.”

Saya mengusirnya. Malam ini saya merasa lemas sekali, tak kuat rasanya harus berdesak-desakan tidur di ranjang sempit ini.

Ada yang aneh. Saya terbiasa dengan perjalanan berat dalam kereta api selama berada di China. Duduk di kursi keras selama 48 jam nonstop sama sekali bukan masalah. Tetapi mengapa sekarang saya begitu lemah? Perjalanan Jaipur-Mumbai hanya 18 jam, tetapi saya hampir pingsan ketika sampai di Mumbai. Belum lagi saya harus menggotong ransel mencari penginapan murah di daerah Colaba, yang sulit sekali. Semuanya di atas sepuluh dolar per malam. Yang paling murah adalah sebuah kamar bak penjara berukuran 1 x 2 meter, bersekat gabus, tersembunyi di puncak sebuah apartemen yang tak mencolok.

           “Kawan,” sapa seorang pegawai kantor pos Mumbai, “maaf kalau saya lancang. Kamu sakit?”
           “Tidak,” jawab saya.
           “Matamu kuning. Mungkin kamu kena infeksi.”

Kuning? Saya tidak pernah mendengar gejala penyakit mata kuning. Mungkin orang itu salah bicara. Ia mengambil semua cermin saku. Saya terloncat melihat wajah saya. Kuning, benar-benar kuning. Saya teringat orang-orang di pemukiman kumuh Paharganj di New Delhi yang matanya tak bercahaya, entah apa sebabnya. Dan sekarang saya menjadi seperti mereka.

Saya panik, luar biasa.

          “Jangan khawatir,” kata petugas pos itu, “Coba kamu periksa ke dokter, istirahat yang cukup, banyak minum air tebu, dua minggu lagi mata kamu akan putih kembali.”

Saya teringat nafsu makan saya yang tiba-tiba hilang, rasa mau muntah setiap kali melihat makanan gorengan. Juga rasa lelah yang berlebihan, urine yang berwarna gelap seperti teh kental.

Saya segera menuju ke rumah sakit St John Hospital No.1, salah satu yang terbaik di kota ini. Di pelataran, seorang kakek penderita lepra terbaring di pinggir got. Rambutnya putih keriting. Tak berpakaian. Pinggangnya hanya dibalut lunggi putih yang kumal. Kaki kirinya terjuntai ke dalam lubang. Telapak kakinya keputihan, mulai membusuk. Dokter hanya lewat begitu saja, seolah tak melihat seonggok manusia yang menanti maut terbaring di tepi lubang hitam.

Inikah rumah sakit nomor satu?

Bu dokter yang sama sekali tidak ramah hanya melirik saya.

           “Mata kuning? Mungkin jaundis. Kamu pulang saja. Istirahat saja, nanti juga sembuh sendiri. Tidak ada yang serius.”

Jaundis? Apa itu jaundis? Baru pertama kali saya mendengar nama penyakit ini. Pencarian Google menunjukkan nama bahasa Indonesia penyakit ini – sakit kuning. Artikel-artikel lain mengupas lebih dalam, menampilkan nama yang jauh lebih seram – hepatitis.

Saya menangis sendirian di bilik internet ini. Saya kena hepatitis. Bagaimana lagi saya harus bertahan?


(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Larangan Study Tour ke Luar Provinsi Disesalkan Pelaku Wisata di Bantul

Larangan Study Tour ke Luar Provinsi Disesalkan Pelaku Wisata di Bantul

Travel Update
5 Wisata Alam di Purwokerto, Terdapat Kolam Alami di Tengah Hutan

5 Wisata Alam di Purwokerto, Terdapat Kolam Alami di Tengah Hutan

Jalan Jalan
5 Hotel Sekitar Dago Bakery Punclut Bandung, mulai Rp 190.000

5 Hotel Sekitar Dago Bakery Punclut Bandung, mulai Rp 190.000

Hotel Story
Makoya Pandaan: Daya Tarik, Tiket Masuk, dan Jam Buka

Makoya Pandaan: Daya Tarik, Tiket Masuk, dan Jam Buka

Jalan Jalan
5 Peralatan yang Harus Dibawa Saat Camping di Pantai

5 Peralatan yang Harus Dibawa Saat Camping di Pantai

Travel Tips
Kemendikbudristek Luncurkan Indonesian Heritage Agency, Kelola Museum dan Cagar Budaya

Kemendikbudristek Luncurkan Indonesian Heritage Agency, Kelola Museum dan Cagar Budaya

Travel Update
6 Tips Aman untuk Anak Saat Bermain di Pantai

6 Tips Aman untuk Anak Saat Bermain di Pantai

Travel Tips
Ketentuan Bhikku Saat Thudong, Boleh Makan Sebelum Pukul 12 Siang

Ketentuan Bhikku Saat Thudong, Boleh Makan Sebelum Pukul 12 Siang

Hotel Story
Memaknai Tradisi Thudong, Lebih dari Sekadar Jalan Kaki

Memaknai Tradisi Thudong, Lebih dari Sekadar Jalan Kaki

Hotel Story
Pameran Deep and Extreme Indonesia 2024 Digelar mulai 30 Mei

Pameran Deep and Extreme Indonesia 2024 Digelar mulai 30 Mei

Travel Update
10 Museum di Solo untuk Libur Sekolah, Ada Museum Radya Pustaka

10 Museum di Solo untuk Libur Sekolah, Ada Museum Radya Pustaka

Jalan Jalan
Tarif Kereta Api Rute Jakarta-Yogyakarta Mei 2024, mulai Rp 260.000

Tarif Kereta Api Rute Jakarta-Yogyakarta Mei 2024, mulai Rp 260.000

Travel Update
Harga Tiket Pesawat Jakarta-Yogyakarta PP Mei 2024, mulai Rp 850.000

Harga Tiket Pesawat Jakarta-Yogyakarta PP Mei 2024, mulai Rp 850.000

Travel Update
Turis Asing Diduga Bikin Sekte Sesat di Bali, Sandiaga: Sedang Ditelusuri

Turis Asing Diduga Bikin Sekte Sesat di Bali, Sandiaga: Sedang Ditelusuri

Travel Update
Ada Pembangunan Eskalator di Stasiun Pasar Senen, Penumpang Bisa Berangkat dari Stasiun Jatinegara

Ada Pembangunan Eskalator di Stasiun Pasar Senen, Penumpang Bisa Berangkat dari Stasiun Jatinegara

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com