Mantra dan doa terus mengalir dari mulut tuanya. Saya kikuk sekali. Ragu, takjub, terkesima, semua bercampur jadi satu.
Sekarang ia mengambil secangkir susu mentah. Di atas susu itu ia melantunkan mantra-mantra lagi. Nadanya naik turun, tetapi sangat cepat. Dari mulutnya ia meludahkan sesuatu ke dalam susu itu. Saya disuruh minum susu yang sudah diludahinya. Saya menenggak cepat-cepat, tak ingin mencicipi setetes pun rasanya, mendorong teguk demi teguk susu bercampur ludah itu supaya segera masuk ke kerongkongan.
Kakek itu mulai berbicara.
“Kamu boleh makan apa saja yang kamu mau, kecuali daging, minyak, dan obat dokter. Setengah jam lagi kamu minum susu mentah yang dicampur soda. Besok dan besok lusa kamu datang lagi ke sini. Tiga hari lagi kamu sembuh.”
Sambil bicara, air ludah terus menciprat dari mulutnya, membasahi wajah saya yang kuning.
Saya tak punya waktu untuk terus mengunjungi dukun ini. Malam ini juga saya harus berangkat ke Amritsar, lekas-lekas menyeberang ke Pakistan karena visa India saya sudah hampir habis.
Malam itu pemilik losmen terkejut melihat saya.
“Hai, matamu sudah tidak sekuning tadi pagi!”
Saya melihat wajah saya di cermin. Bola mata saya sudah putih!
(Bersambung)
_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!