Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (119): Pelabuhan Darat

Kompas.com - 16/01/2009, 10:06 WIB

Kota Sost sekarang juga adalah kota baru, berkembang tak teratur sepanjang jalan utama Karakoram Highway di dekat pos bea cukai. Kota Sost Lama, Afiyatabad, terletak dua kilometer ke selatan, semakin hari semakin sepi tertelan oleh magnet dry port di Sost Baru.

Saya menginap di Afiyatabad, di rumah Akhtar sahabat saya. Akhtar masih muda. Ayahnya punya hotel di Afiyatabad, tetapi di musim begini sama sekali tidak ada tamu yang menginap.

          “Pengyou. Pakistan hao bu hao?” Abdul Aziz, ayah Akhtar, mempraktikan kemampuan Bahasa Mandarinnya.
          “Zhongguo hao. Dong bu dong? China bagus. Mengerti tak?”

Dua setengah tahun yang lalu, ketika saya pertama kali berjumpa dengan keluarga ini, saya sempat terpukau dengan kemampuan ayah Akhtar bercakap. Tetapi sekarang, kosa katanya tak berkembang, hanya seputar ‘bagus tidak?’, ‘paham tidak?’ Tetapi bagaimana pun juga, Abdul Aziz diliputi kekaguman dan kecintaan yang mendalam terhadap negeri Tiongkok. Ia pun banyak minum arak selundupan.

          “Jangan dihiraukan orang itu,” kata Wahid, sepupu Akhtar, “kebanyakan minum alkohol dari China, kepalanya jadi gila.”

Wahid sendiri tidak terlalu terpesona oleh kedatangan para pedagang dari negara tetangga itu. Ia menyalahkan, banyak pengaruh buruk yang dibawa para pendatang itu ke dusun-dusun pegunungan Karakoram ini. Semakin banyak orang yang minum alkohol. Bukan rahasia umum lagi, kalau pedagang Pakistan pergi ke Kashgar pasti mencari gadis-gadis Uyghur dan China yang ‘murah’.

Tetapi, bukan berarti Wahid adalah orang yang konservatif. Ia tak suka segala bentuk fanatisme, bangga akan kemoderatan ajaran Ismaili, cinta Aga Khan sang pemimpin spiritual, dan diliputi rasa kebangsaan Tajik yang kuat. Arsitek interior berusia 33 tahun ini pernah sekolah di Norwegia, belajar teknik ukir kayu di universitas. Sekarang Wahid bekerja sebagai sukarelawan di daerah gempa Kashmir, membantu merancang kemah untuk tempat tinggal para korban bencana.

          “Sebenarnya, kultur kami, bangsa Tajik, sebagai bangsa pengembara masih bisa diterapkan di zaman modern ini. Sekarang saya sedang menggali lagi keunggulan kemah nomaden Kyrgyz dan Tajik untuk dipakai di Kashmir.”

Wahid menceritakan nenek moyang orang-orang Tajik yang tinggal di Sost ini berasal dari lembah Wakhan, sekarang di wilayah Afghanistan. Suku yang mendiami Sost adalah Wakhi Tajik, bicara bahasa Wakhi yang masih berkerabat dengan Persia, sama sekali berbeda dengan bahasa Burushaski yang dipakai di Karimabad. Nenek moyang mereka adalah bangsa pengembara, menggembalakan ribuan ternak di padang hijau Pegunungan Pamir. Mereka adalah bangsa yang hidup bersama alam.

Di rumah tradisional Wahid, saya merasakan kehidupan suku Wakhi Tajik. Ruangan utama dikelilingi panggung kayu. Di bagian tengah ada tungku, tempat kaum perempuan memasak. Kaum lelaki duduk di satu panggung, perempuan di panggung lain. Makan malam hari ini adalah daging yak. Lelaki dan tamu makan bersama, perempuan tak bercampur. Lelaki berbicara, perempuan tak menyela. Bagi mereka, isi pembicaraan kami tentang bisnis, hubungan Pakistan-China, geopolitik dunia, sama sekali tak menarik perhatian mereka.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com