Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (119): Pelabuhan Darat

Kompas.com - 16/01/2009, 10:06 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Hunza bukan lagi Shangri-La yang tersembunyi, tak terjamah peradaban manusia. Sejak Karakoram Highway selesai dibangun, desa-desa di pegunungan tinggi ini semakin terbuka bersama kemajuan dunia.

Pembangunan jalan raya menembus gunung-gunung pada ketinggian di atas 4000 kilometer bukanlah hal yang mudah. Pemerintah Pakistan dan China bersama-sama mengerjakan proyek ini, membutuhkan waktu 20 tahun, dan baru selesai pada tahun 1986. Panjangnya 1300 kilometer, menghubungkan Islamabad dengan kota Kashgar di propinsi Xinjiang milik Republik Rakyat China. Medannya sangat berat. Pakistan menyebut jalan raya ini sebagai Keajaiban Dunia Kedelapan.

Saya berhasil mengalahkan rasa malas, memaksa diri beranjak meninggalkan Karimabad menuju kota Sost, kota terakhir Pakistan sebelum perbatasan China. Saya dengar karena banyaknya orang China, di kota Sost kita bisa membeli makanan China yang asli citarasanya.

Dua tahun lalu, saya sudah pernah sampai di sini. Para pekerja China sedang sibuk membangun dry port – pelabuhan darat, yang akan membangkitkan denyut nadi perekonomian di barisan pegunungan Karakoram. Waktu itu mereka sangat gembira, karena kiriman daging babi dari China baru datang. Bagi para pekerja itu, makanan Pakistan terlalu hambar dan tak sesuai lidah mereka. Di seluruh negeri, daging babi tak tersedia sama sekali dan harus diimpor untuk konsumsi sendiri. Selain itu, para pekerja juga tidak bisa hidup tanpa bir dan arak, semuanya harus didatangkan sembunyi-sembunyi di bersama konvoi truk pengangkut barang.

Dry Port Sost kini sudah jadi. Orang China jauh lebih banyak daripada ketika saya datang dulu. Selain barisan rumah makan dan tenda, sekarang sudah ada hotel. Aroma dan hingar bingar negeri Tiongkok sekarang sudah merambah kota perbatasan ini. Saya sudah rindu kebiasaan mereka berteriak-teriak kalau bicara, seperti orang bertengkar. Bahkan melihat orang-orang ini meludah di mana-mana membuat saya sangat terkenang zaman ketika saya masih tinggal di negeri itu.

Tetapi saya tak terlalu beruntung. Masakan China tidak tersedia.

          “Sejak dua hari lalu [tanggal 1 Januari] perbatasan sudah ditutup. Dari China sudah tidak ada kiriman bahan. Sekarang yang ada cuma tepung. Kamu mau bing dengan asinan xiancai? Enak juga dimakan dengan telur rebus.”

Ini menu makan kuli bangunan atau sopir truk di Beijing. Saya dulu tak pernah sudi mencicip makanan ini, tetapi sekarang, rasa rindu yang dalam membuat makanan sederhana ini terasa nikmat sekali. Yang makan di sini bukan hanya orang China, tetapi juga beberapa pengusaha Pakistan walaupun sudah diberitahu bahwa makanan mungkin tidak halal.

Bersama dengan temperatur yang terus turun, aktivitas di pelabuhan darat ini pun melambat. Kalau di musim panas bisa ada puluhan truk yang datang, hari ini cuma dua atau tiga saja. Sedangkan truk dari Pakistan sudah berbaris, menantikan pengalihan barang-barang made in China untuk diangkut ke pedalaman Pakistan. Di Pakistan sekarang barang buatan Tiongkok sudah merajalela, mulai dari teh sampai sepeda motor, mulai dari lampu senter sampai angkot Qingqi. Beberapa orang Pakistan yang saya jumpai mengakui kelebihan barang China hanya harganya yang miring, tetapi kalau punya uang mereka lebih memilih barang yang berkualitas bagus. Untuk teh misalnya, teh asal Indonesia dan Sri Lanka masih dihormati karena rasanya yang sedap, walaupun harganya lebih mahal.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com