Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (129): Menjemput Sang Isteri

Kompas.com - 30/01/2009, 07:36 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Rombongan barat berarak-arak menyusuri jalan sempit di pinggir rumah-rumah batu Karimabad. Kami menuju Hassanabad bersama sang pengantin pria untuk menjemput sang putri.

Pukul sembilan pagi. Rumah keluarga karim mulai ramai didatangi sanak saudara. Bahkan ada beberapa paman yang sudah sejak beberapa hari yang lalu datang dari luar kota dan menginap di sini. Bocah-bocah perempuan anak tetangga berlari riang di halaman, menunjukkan tangan mereka yang sudah berhias henna. Yang laki-laki sudah siap dengan korek dan petasan. Ledakan demi ledakan sambung-menyambung.

Di ruang utama, di bawah potret besar sang pemimpin spiritual Aga Khan yang sedang tersenyum, para pria kerabat dekat menikmati sarapan pagi – roti tipis chapati yang dimakan dengan gumpalan mentega padat. Minumnya adalah teh susu campur mentega, asin rasanya.

Semua pria yang duduk di ruangan ini, termasuk saya, adalah kaum barati. Kami akan ikut dalam rombongan barat, rombongan pengantin pria untuk menjemput pengantin perempuan di rumahnya.

Amin Khan, sang pengantin pria, kakak kandung Karim, sudah tiga puluh tahunan umurnya. Ia pemilik hotel di dusun Altit di atas Karimabad. Wajahnya garang dan tegang. Kumisnya tebal. Matanya menyorot tajam. Ia mengenakan shalwar kamiz putih bersih, dipadu dengan sweater abu-abu untuk mengusir dingin. Pakaian pengantin Hunza sangat sederhana. Sekarang kedua pamannya memasangkan chapan - jubah putih panjang dengan sulam-sulaman dengan motif flora yang detail dari benang perak. Ini adalah pakaian kebesaran orang Hunza.

Untuk menambah kebesarannya, paman Amin kemudian memasangkan topi kebesaran Hunza. Namanya phartsin, dari bulu. Bentuknya seperti topi pakkol orang Pathan, tetapi ujung lipatannya berbentuk bundar. Di bagian kiri depan tersemat bulu burung, mengingatkan saya pada figur Robin Hood.

Khalifa, pemuka agama Ismaili, memimpin doa. Semua orang menengadahkan tangan. Khalifa komat-komit dalam bahasa Burushaski yang tidak saya mengerti. Saya hanya mendengar ia menyebut “Ya Maulana” berkali-kali.

Seorang paman membalut sebilah pedang dengan kain putih. Pedang, atau disebut talwar, yang dipanggul di bahu kanan, membuat sang pengantin lebih garang lagi. Tetapi kesan garang itu hilang seketika karena kalungan bunga-bungaan besar warna-warni yang melingkar di lehernya.

Seorang bibi mengalungkan rangkaian kertas berwarna emas dan perak mengkilap, seperti yang biasanya dilingkarkan di atas pohon natal. Kemudian foto bersama. Sehabis itu kalungan kertas itu dilepas lagi, diberikan kepada bibi lainnya. Secara bergiliran, kaum wanita di keluarga itu memasang kalung kertas, berfoto, kemudian dilepas lagi. Ada pula yang memberi penghormatan kepada sang pengantin dengan bersalaman dan menciumi tangannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com