Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (130): Air Mata Pengantin

Kompas.com - 02/02/2009, 13:27 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

 

Baru pertama kali saya menyaksikan pesta pernikahan seperti ini - sang pengantin perempuan menangis keras, meraung-raung seperti orang yang ditinggal mati keluarganya.

Hassanabad, rumah sang pengantin perempuan, letaknya hanya empat kilometer dari Karimabad. Tetapi rombongan barat kami diangkut dalam iring-iringan belasan jip. Bersama kami, ikut seorang khalifa, penghulu umat Ismaili. Acara akad nikah dilangsungkan di jemaatkhana di dekat rumah pengantin wanita, demikian adatnya.

Kalau zaman dulu barat selalu menampilkan seorang pangeran tampan berjubah yang duduk dengan gagah di atas kuda putih, sekarang sang pangeran naik jip butut yang tak kalah tangguhnya menyusuri lereng perbukitan di barisan pegunungan raksasa. Apalagi sekarang dingin tak terkira menembus mantel dan jaket.

Hassanabad terletak di lereng bukit terjal. Karena jip kami sudah terengah-engah, rombongan bharat kami harus mendaki gunung dengan berjalan kaki.

Acara akad nikah tertutup bagi orang luar. Hanya famili dekat kedua mempelai, plus khalifa dan muki (imamnya orang Ismaili) yang boleh masuk ke jemaatkhana. Rombongan 50 orang barati, termasuk saya, menunggu dengan sabar di rumah mempelai wanita.

Sekitar setengah jam berselang, iring-iringan pengantin pria dan kerabatnya datang. Mereka bersiap masuk ke rumah pengantin perempuan. Beberapa orang perempuan menunggu di depan pintu, membawa sebuah nampan berisi roti tipis. Ada pula yang membentang tali yang digantungi bendera warna-warni, persis seperti acara gunting pita waktu peresmian gedung oleh pejabat. Yang lainnya membawa nampan berisi sobekan kertas kelap-kelip, siap ditabur ke atas kepala para pria ini. 

Di rumah pengantin, kami para anggota barati duduk berbaris sepanjang taplak makan dastarkhon. Sang khalifa memimpin doa. Kami dijamu luberan nasi pullao dan kari ayam. Lezatnya tak terkira.

Selesai sudah acara ramah tamah ini. Sekarang giliran kami memboyong pulang sang pengantin wanita.

Tiba-tiba pecahlah suara raungan keras, ratapan kesedihan, yang melengking. Di samping pengantin pria, tegaklah seorang wanita cantik berjubah emas sepanjang lutut, bercelana kombor, bertopi rumbai-rumbai, dan berkerudung. Dia menangis histeris seperti ditinggal mati orang tuanya. Dialah sang pengantin.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com