Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (134): Lambang Cinta

Kompas.com - 06/02/2009, 07:55 WIB

Tak hanya pria dewasa, bocah-bocah pun ikut ber-zanjirzani. Pisau mereka berukuran lebih kecil. Gerakan mereka menyambitkan pisau ke punggung pun tak seganas para pemuda atau pria tua. Tetapi, ada keteguhan hati ketika melakukannya. Tak ada yang merintih kesakitan atau memicingkan mata. Setiap sambitan pisau dibarengi keyakinan.

Ada pula yang masih kecil sekali, tak lebih dari tujuh tahun, masih belum melakukan zanjirzani sendiri. Ayahnya turun tangan, memukulkan rantai pisau kecil ke punggung anaknya sendiri. Ada sayatan kecil di punggung yang mulus itu. Tetapi si anak sama sekali tak menangis. Tak ada tanda-tanda kesakitan.

Zanjirzani bukanlah debus atau pertunjukan mistis. Pisau ini nyata. Lukanya nyata. Sakitnya pun ada, walaupun terbenam dalam keyakinan dan ‘cinta’. Sayatan zanjir di punggung membekas seumur hidup, sebagai bukti pengorbanan dan keberanian menderita seperti Hussain, keberanian untuk membela yang benar dan melawan yang salah.

“Mengapa harus takut?” kata Umer, pemuda yang mengaku setiap tahun ikut dalam prosesi ini, “Hussain pun merasakan sakit, yang jauh lebih hebat daripada apa yang kami rasakan ini. Dan ini adalah wujud cinta kami kepada Imam Hussain.”

Tak semua Muslim setuju dengan penyiksaan diri zanjirzani. Bahkan di Iran, satu-satunya negara Islam Syiah di dunia, acara zanjirzani yang sampai berdarah-darah dilarang. Di Pakistan, yang berpenduduk mayoritas Sunni, zanjirzani justru tak pernah absen dari peringatan Ashura.

Ke dalam kerumunan orang yang histeris bersimbah darah ini, digiring sebuah kuda putih yang berhias bunga-bunga. Seketika, ratusan umat berebutan untuk menyentuh kuda ini, menciuminya dengan penuh kasih, dan menempelkan tangan setelah menyentuh kuda ke dahi masing-masing. Ini adalah perlambang kuda suci Zuljinah milik Imam Hussain A.S. yang turut dalam perang di Karbala. Orang percaya, dengan menyentuh kuda suci ini mereka akan mendapat berkah.

Darah membasahi punggung para pria ini. Mereka berbaris berhadap-hadapan, bersama-sama mendengungkan derasan-derasan doa, sambil memukuli dadanya serempak. Pukulan di dada itu, sedemikian keras dan serempaknya, sehingga laksana menjadi tetabuhan mengiringi doa panjang berulang-ulang itu. Bak ombak di pantai, sesekali melambat, sesekali berderu cepat.

Peringatan Ashura berakhir. Tetapi perkabungan belum usai. Masih ada empat puluh hari lagi sampai perkabungan Imam Hussain berakhir. Tangisan kesedihan masih akan memenuhi penjuru Pakistan. Darah masih akan tertumpah lagi – wujud cinta bagi mereka-mereka yang meyakini.

(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com