Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika 17 Perempuan Aceh Bersatu

Kompas.com - 14/02/2009, 20:41 WIB

 

Dalam sejarah gerakan perempuan Aceh, tidak ada nama besar sebagaimana Aung San Suu Kyi, tokoh pejuang demokrasi Myanmar, Michelle Bachelet pejuang hak perempuan Chili, atau Muhtar Mai ikon gerakan perempuan Pakistan.

Namun bukan berarti perempuan Aceh diam dan tidak melakukan apa-apa. ... Selama konflik, perempuan Aceh memainkan peran strategis, termasuk ditingkat akar rumput.

Perempuan pula yang pertama kali mengangkat kasus pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusian di Aceh sehingga menjadi isu nasional. ...."

Testimoni di atas merupakan bagian dari isi buku berjudul "Perempuan Aceh Bicara" dengan tema Gerakan Perempuan di Aceh Pasca-Tsunami karya Suraiya Kamaruzzaman.

Sebanyak 17 perempuan Aceh bersatu menyumbangkan hasil karyanya dalam buku setebal 156 halaman berikut 17 tema yang diangkatnya. Salah satunya adalah Suraiyah, yang lebih dikenal sebagai Direktur Eksekutif dari Aceh Berbunga.

Kelompok perempuan Aceh pertama yang didirikan tahun 1989 guna mengatasi konsekuensi pemaksaan brutal dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Suraiyah menjadi penulis perempuan di urutan terakhir dalam buku ini. Meski, gerakannya dalam memproteksi kaum perempuan akibat konflik GAM dan Tsunami lebih membahana.

Bahkan, di tahun 2001 ia memperoleh Anugrah Hak Asasi Manusia Indonesia atau Yap Thiam Hien Award. "Ini bukan buku saya, tapi saya salah satu penulis di buku ini. Jadi di situ menggambarkan bagaimana peran perempuan masa konflik dan pasca Tsunami," ungkap Suraiyah saat Peluncuran buku itu di Jakarta Convention Center, Jakarta Pusat, Sabtu (14/2).

Menurut Suraiyah, penulis berasal dari para aktivis yang telah lama berkecimpung di dalam konflik Aceh. Di mana mereka membantu para perempuan dari perlakukan tidak senonoh baik dari pihak TNI dan GAM.

"Sebenarnya yang menulis adalah teman-teman aktivis dengan pengalaman yang cukup panjang. Misalkan yang menulis kekerasan perempuan dari LSM APIK serta yang menulis 'Perempuan di Pengungsian: Suatu Deskripsi Realita' adalah aktivis malaysia yang selama konflik sudah bekerja di sana. Jadi memang kerja semua orang. Kemudian menaikkan pengalamannya dalam tulisan," kata Suraiyah menekankan.

Sisi lain perempuan turut dituangkan Munawiyah yang mengangkat tema "Petani Perempuan Pasca Tsunami" pada Bab II point H halaman 95. Ia memaparkan kondisi paling rentan akibat Tsunami dialami kelompok perempuan dan petani perempuan yang memang selama ini memiliki akses kecil terhadap kekuasaan dan pendapatan publik. Yang kemudian menjadikan mereka lebih terpojok.

Dalam konteks ke-Aceh-an dominasi laki-laki sangat terlihat dalam berbagai dimensi sosial. Seperti, ragamnya kebijakan pertanian yang selalu mengatasnamakan laki-laki. Dalam bantuan modal usaha, apa yang didapatkan laki-laki selalu berbeda dengan bantuan yang diberikan perempuan.

Misalnya bantuan hand tractor, pengolahan tambak, boat besar, pabrik menengah dan sebagainya. "Biasanya modal usaha yang didapatkan perempuan adalah jualan di kios kecil depan rumah, jualan sayur di pasar," seperti dikutip pada tulisannya.

Buat Munawiyah, penciptaan lelaki dan perempuan adalah memperoleh perlakuan yang sama. Tuhan tidak membedakan, dan Tuhan tidak merankingnya.

Hal lain menggelitik diungkapkan oleh Rosni Idham, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Aceh Barat. Ia menceritakan bagaimana perubahan identitas sosial kultural pasca Tsunami mendadak terjadi pada kaum perempuan. Bagaimana istri pertama dan istri kedua saling berjuang bersama yang sebelumnya selalu bermusuhan.

Mereka membagi fungsi keluarga, ada yang sebagai pencari nafkah dan ada juga yang bertugas mengasuk anak-anak lantaran mulai renta. Semua ini terjadi saat Sang Suami tewas karena tsunami, serta harta benda yang ludds tak berjejak.

Cerita lain adalah Sara, seorang wanita muda dan cantik yang ditinggal suami dan putri kecilnya saat tsunami. Sara yang bekerja sehari-hari sebagai seorang guru disalah satu Sekolah Menengah Atas, menikah lagi setelah sekian lama tsunami berlangsung.

Namun suaminya tidak bisa dijadikan pengganti ayah bagi putra semata wayang. Anaknya sering dihardik dan dihina. Sara yang selama ini dikenal lembut dan penyabar telah berganti dengan Sara yang pandai berontak dan tegas bertindak. Dengan tidak ragu-ragu, Sara mengambil keputusan untuk bercerai, saat usia perkawinannya baru tiga bulan.

Meminjam kesimpulan di akhir buku, dari apa yang terlihat, sudah barang tentu bukan lagi saat ini memperdebatkan perbedaan lelaki dan perempuan. Bahwa gerakan perempuan di Aceh sangat pluralis, adalah benar. Refleksi inilah yang bisa menjadi pelajaran sangat berharga jika setiap individu baik lelaki atau perempuan menjadikannya landasan bagi gerakan perempuan menguat sampai pelosok pedesaan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com