Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (141): Dari Reruntuhan

Kompas.com - 17/02/2009, 07:45 WIB

Perseteruan Kashmir bermula ketika British India dipartisi menjadi Pakistan dan India pada tahun 1947. Maharaja Kashmir beragama Hindu, sedangkan mayoritas penduduknya beragama Islam. Sang maharaja ingin Kashmir merdeka, tidak memilih India ataupun Pakistan. Konflik berkobar, ketika pasukan Pakistan menyerbu Kashmir, dan sang maharaja meminta bantuan ke India. Sejak saat itulah, Jammu dan Kashmir terbelah.

India menyebut wilayah yang di bawah kekuasaannya sebagai ‘Jammu dan Kashmir’, dan yang di bawah Pakistan sebagai ‘Occupied Kashmir’. Demikian halnya Pakistan, menamai Kashmir sebagai ‘Azad Jammu and Kashmir (AJK)’ atau Azad Kashmir, dikontraskan dengan ‘Indian Occupied Kashmir’. Azad, dalam bahasa Urdu berarti ‘merdeka’. Perbatasan antara kedua Kashmir juga tidak disebut border, melainkan Line of Control (LoC), yang menggambarnya di atas peta harus dengan garis putus-putus.

Apakah Azad Kashmir benar-benar ‘merdeka’? Seorang Kashmir dari India pernah berkata, “tak peduli itu Kashmir India atau Azad Kashmir, dua-duanya adalah Kashmir yang terjajah dan tertindas.”

Karena posisinya yang sangat sensitif, Pakistan sangat berhati-hati dalam masalah Kashmir. Orang India jelas dilarang masuk sini. Orang asing pun sebenarnya juga butuh surat-surat izin khusus yang berbelit.. Keadaan menjadi agak longgar karena bencana gempa. Mirip dengan Aceh pasca tsunami. Bahkan bala bantuan pangan mengalir dari India, melintasi garis LoC, yang oleh media lokal disebut sebagai ‘Unlock the LoC’.

Matahari mulai terbenam ketika kami sampai di Muzaffarabad, ibu kota Azad Kashmir. Kota ini sangat indah. Gunung-gunung tinggi menggapai awan, memenuhi seluruh penjuru. Jalan beraspal naik turun menyusuri lereng-lereng bukit. Tata kotanya pun rapi, jauh lebih teratur daripada Rawalpindi yang semrawut. Kalau bukan karena reruntuhan rumah-rumah batu di pinggir-pinggir jalan, dan kemah-kemah pengungsi yang masih bertebaran di sana sini, Anda juga akan mengamini bahwa Kashmir layak disebut sebagai surga di muka bumi.

Rashid langsung menggeret saya mengikuti rapat di kamp PBB. Semua NGO berkumpul, membahas kegiatan mereka dan pengorganisasian budget. Jutaan dolar dari seluruh dunia mengucur di Kashmir, tetapi lima bulan sesudah gempa pun pengungsi masih kelaparan dan kedinginan. Saya mendengarkan ceramah tentang pentingnya program pembersihan puing-puing, persiapan datangnya musim panas, pembangunan tempat tinggal sementara, kebersihan air, dan sanitasi.

Saya tak mengerti apa-apa, karena baru datang tak lebih dari setengah jam di tempat ini. Tetapi saya hanyut dalam haru dan bangga, resmi menjadi sukarelawan di Kashmir.

(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com