Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (157): Majlis di Noraseri

Kompas.com - 12/03/2009, 07:45 WIB

Farman, pria 36 tahun dan bertubuh subur ini, mengenakan jubah hitam-hitam. Hitam adalah warna berkabung, warna pakaian favorit selama bulan Muharram hingga Chehlum.

Bocah-bocah mulai berdatangan, kebanyakan adalah murid sekolah kepunyaan Farman. Beberapa penduduk desa pun ikut hadir, walaupun tak begitu banyak. Di Noraseri tak banyak pemeluk Syiah. Bahkan tamu yang hadir ini pun kebanyakan pemeluk Sunni. Pembicara yang akan berceramah di hadapan majlis adalah seorang guru Syiah dari Muzaffarabad.

          “Imam Hussain bukan hanya monopoli umat Syiah,” kata guru itu, “Umat Hussain dicintai oleh semua Muslim, baik Sunni maupun Syiah.” Bagi Muslim, Imam Hussain telah gugur sebagai syahid melawan kesesatan. Keberanian dan ketaatannya adalah suri tauladan bagi semua ummah.

Walaupun mayoritas penduduk Pakistan memeluk sekte Sunni, Ashura dan Chehlum adalah hari libur nasional di negara ini. Muslim Sunni pun ikut meratap dan berkabung selama bulan Muharram. Di sini, tidak ada yang merayakan Muharram dengan gegap gempita seperti menyambut tahun baru. Bahkan musik pun nyaris tak terdengar.

Bendera hitam berkibar-kibar gagah di atas atap ini. Puluhan pelajar sekolah dasar dan beberapa penduduk desa duduk di atas tikar. Acara majlis dimulai dengan lantunan doa dan shalawat oleh seorang bocah tetangga. Suaranya merdu sekali, membahanakan keagungan gunung-gunung yang mengitari segala penjuru. Nanga Parbat, gunung mistis bertudung salju, takzim dalam kebisuannya.

Khotbah majlis sudah beberapa kali saya dengar. Jalan ceritanya saya mulai hafal. Dimulai dari kisah Ali, penderitaan Imam Hussain yang bertempur di padang pasir, keteguhan imannya, ketaatannya pada Allah, serta keberaniannya melawan kebatilan. Saya yakin, penduduk pun sudah beratus kali mendengar kisah ini. Walaupun demikian, setiap khotbah majlis tentang Imam Hussain, selalu banyak yang menangis tersedu-sedu.

Tajjamal yang sudah lapar dan bosan malah menyeret saya ke rumah bibinya. Saya disuguhi nasi kari sapi yang luar biasa lezatnya. Setelah kekenyangan, saya bukannya segera kembali ke rumah Farman, malah ketiduran di kemah Tajjamal.

Jam 5:30 sore, baru saya bangun, dan bergegas ke rumah Farman. Langit sudah hampir gelap. Semua orang sudah bubar. Saya berkali-kali minta maaf ke Farman, karena ‘bolos’ dari acara majlis. Farman malah menyuguhi saya biryani lezat masakan koki kami yang pernah bekerja di Yunani. Saya sudah tidak kuat makan lagi.

Bendera hitam di rumah Farman terus berkibar, dihembus angin pegunungan yang kencang. Betapa indahnya kehidupan di sini, ketika umat dari sekte-sekte yang berlainan bisa hidup bersama dalam damai. Semoga damai ini menjalar ke seluruh penjuru Pakistan.

 

 (Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com