Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (163): Barat dan Baran

Kompas.com - 20/03/2009, 07:44 WIB

Acara hari ini cuma menunggu. Sepupu Vicky yang menikah adalah mempelai perempuan. Saya sama sekali tidak melihat wajahnya. Penduduk desa ini sangat tradisional dan memegang teguh aturan purdah. Purdah, yang secara harafiah berarti tirai, adalah pemisahan yang ketat antara perempuan dan laki-laki. Wajah perempuan sama sekali tidak terlihat oleh kaum pria.

Pengantin perempuan dan tamu-tamu wanita semua berkumpul di dalam rumah. Tamu pria menunggu di lapangan terbuka, bercengkerama menghabiskan waktu. Yang kami nanti-nantikan adalah datangnya barat, rombongan pengantin pria dari desa seberang yang akan menjemput sang puteri dari desa kami.

Kami sedang menunggu datangnya Satu jam, dua jam, tiga jam, berlalu begitu saja. Langit semakin gelap. Sebentar lagi turun hujan. Barat tak juga datang, malah baran (hujan) sudah muncul duluan.

Tetes gerimis mulai membasahi bumi. Kursi-kursi di lapangan langsung kosong. Tamu-tamu yang semula duduk sudah bubar ke berbagai penjuru, mencari perlindungan dari hujan. Gerimis bubar. Tanah lembut menjadi lumpur yang menjengkelkan. Hujan semakin lama semakin deras.

Keluarga Vicky panik, mencari tempat pengganti. Setelah debat panjang yang penuh teriakan penuh gelisah, akhirnya diputuskan untuk menggunakan rumah shelter darurat milik Vicky yang masih belum jadi. Rumah kayu ini masih belum ada atapnya, tetapi sudah dipasangi terpal biru yang menangkupi. Ukurannya tak lebih dari 3 x 3 meter. Jendelanya berukuran besar, tetapi belum dipasangi kaca. Titik-titik hujan menetes membasahi ruangan. 

Bocah-bocah sibuk membersihkan rumah darurat ini. Para pria langsung menaruh terpal lain, yang nanti akan menjadi alas duduk. Dalam hitungan menit, rumah ini sudah siap menjadi tempat akad nikah.

Setengah jam kemudian, dari kejauhan nampak arak-arakan barat. Lima puluhan janji, orang-orang yang ikut dalam arakan barat, berbaris mengular menyusuri pendakian lereng gunung yang terjal. Barat ini berasal dari Pattika, sebuah desa pasar di dekat jalan raya di utara sana. Dari kampungnya, mereka datang dengan mobil sampai ke kaki gunung, kemudian dilanjutkan acara pendakian menyusuri lereng berlumpur sampai ke Noraseri.

Pengantin pria memimpin iring-iringan barat ini. Umurnya sekitar 35 tahun. Kumisnya tebal, wajahnya tegang dan garang. Surbannya putih, berpadu dengan shalwar kamiz dan jubah berwarna senada. Di lehernya dikalungkan untaian besar bunga-bunga merah dan kuning. Di belakangnya, para pengiring yang laki-laki mengikuti. Para pengiring perempuan dengan pakaian yang berwarna-warni menyala tertinggal di belakang.

Anggota barat yang laki-laki segera memenuhi rumah darurat mungil ini. Tak semua bisa masuk, hanya kerabat dekat pengantin saja. Sisanya menunggu di luar, di bawah guyuran hujan yang semakin deras. Para pengiring perempuan sudah berada di ruangan khusus bagi mereka, sama sekali tak terlihat oleh kami.

Akad nikah pun dimulai.

(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com