Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilema Privatisasi Pariwisata Bahari

Kompas.com - 20/03/2009, 16:16 WIB

Pengembangan pariwisata sebenarnya tak jauh berbeda dengan eksploitasi sumber daya alam. Sebagian pulau dengan ekosistem laut dan daratan yang indah, unik, dan menarik sudah digarap, bahkan dijual kepada pihak asing. Sementara itu, masyarakat ”gigit jari” karena aksesnya untuk menangkap ikan semakin terbatas.

Seorang panelis menyatakan kekhawatirannya akan pendekatan pengembangan pariwisata bahari atau marine ecotourism. Dia menunjuk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Di dalam undang-undang itulah bersembunyi sejumlah ancaman yang berpotensi memiskinkan masyarakat lokal, membuat mereka ”gigit jari” menonton hiburan berupa marine ecotourism di wilayah mereka tinggal bertahun-tahun sebelumnya.

Pada undang-undang tersebut disebutkan bahwa kegiatan pariwisata bahari dapat diberikan melalui sertifikat HP-3, yaitu sertifikat hak pengusahaan, perairan, dan pesisir, yang meliputi permukaan air, kolom air, hingga ke dasar perairan. Jangan coba-coba datang dengan cara menyelam ke wilayah yang telah diterbitkan HP-3-nya.

Perencanaan strategis sebagai prasyarat terbitnya sertifikat HP-3 ditentukan hanya oleh dua pihak, yaitu pemilik modal (pihak swasta) dan pemerintah daerah. Masyarakat setempat tidak mendapatkan hak untuk turut merencanakan, padahal merekalah yang akan menerima akibatnya secara langsung.

Hak tersebut dapat dimiliki oleh sektor swasta (termasuk asing) dengan periode pengusahaan 20 tahun dan dapat diperpanjang untuk periode berikutnya. Disebutkan, masyarakat yang kehilangan aksesnya terhadap sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil akan mendapatkan kompensasi karena dia telah kehilangan akses ke lokasi lapangan kerja mereka untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Peraturan boleh berbicara demikian, tetapi temuan panelis tersebut di lapangan merupakan sebuah realitas yang berbeda. Temuan di Tomia, Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara, misalnya, menunjukkan bahwa di lapangan terjadi pengaplingan area laut sebagai zona larang tangkap karena diperuntukkan sebagai dive point dengan kompensasi Rp 5 juta per bulan untuk pembangunan infrastruktur desa. Daerah ini dikelola sebuah perusahaan dari Swiss.

Realitas lain, yaitu di Kepulauan Togean, Provinsi Sulawesi Tengah, perusahaan dari Italia telah mengenakan larangan untuk kegiatan perikanan tradisional sejauh 7 kilometer. Alasannya: konservasi.

Sementara di Pulau Komodo, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur, investor membatasi akses masyarakat nelayan karena dianggap sebagai ancaman. Tahun 2002 dan 2003 konflik antara pengusaha dan masyarakat telah menelan korban jiwa.

Panelis tersebut menyitir isi UUD 1945 Pasal 33 yang intinya menegaskan bahwa kekayaan alam dan sumber daya air, udara, dan sebagainya harus dipergunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Akan tetapi, yang terjadi sekarang bukan kemakmuran yang didapat, sebaliknya sebuah daerah yang kaya akan sumber daya alam justru identik dengan kemiskinan karena masyarakat lokal terpinggirkan dari hiruk pikuk investasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com