Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masih Banyak Keindahan di Toba

Kompas.com - 14/04/2009, 10:08 WIB

Sup ikan

Matahari nyaris tenggelam ketika tiba-tiba kami merasa mobil terguncang aneh di jalan rata. Sebuah insiden terjadi: ban mobil kami pecah. Jujur, kami tidak tahu yang namanya dongkrak, apalagi tempat ban cadangan. Beruntung, seorang pemuda asal Medan yang kebetulan lewat dengan inang dan tulang-nya rela berselonjor di bawah mobil mencari pengait ban cadangan yang telah berkarat dan membantu kami mengganti ban.

Sekitar pukul tujuh malam kami tiba di Pangururan, kota terbesar di Pulau Samosir. Kami menginap di Ambarita, disambut Jumaga Gultom, tuan rumah yang mengajak mengobrol di teras dengan suara latar empasan air Danau Toba yang berjarak dua meter dari tempat kami duduk.

Istri Jumaga, Masrida Sihombing, menghidangkan menu hari itu, sop ikan Danau Toba, yang baru dibuat karena memang hanya kami tamunya pada hari yang dingin itu. Tidak ada lagi yang kurang, setelah semangkuk panas sop ikan mujair dengan potongan tomat segar dimakan bersama nasi hangat.

Obrolan pun mengalir ke sana-kemari, dari air danau yang naik beberapa meter belakangan ini, sampai pada turis mancanegara yang tidak pernah kembali sejak tragedi bom Bali. Turis domestik cukup banyak, tetapi kebanyakan berhenti di Parapat.

Sempat kami berpandangan saat empunya rumah bercerita tentang Danau Sidihoni. ”Sebenarnya bisa cuma setengah jam dari Pangururan, tetapi karena jalan rusak dua jam pun bisa lebih,” kata dia. Dalam hati saya berkata, ban bisa pecah lagi, nih.

Kami berangkat pukul enam pagi ke Sidihoni. Di huta-huta alias desa-desa di sepanjang jalan, wajah-wajah anak kecil muncul dari rumah adat, sementara ibu mereka menyapu di halaman rumah. Ladang dan makam tempat tulang-belulang para leluhur Batak yang dikubur kembali saat upacara Mangongkal Holi berjejer di tepi jalan.

”Boru apa kau, inang?” Ringan sebuah teguran meluncur yang dengan mudah berlanjut ke percakapan panjang tentang suami, istri, anak, cucu, hingga kehidupan. Perjalanan kami terasa sederhana, tetapi nyata, masuk ke dalam kehidupan para inang dan amang di Samosir, bukan sekadar menonton sesuatu yang artifisial.

Perjalanan dari Pangururan ke Danau Sidihoni melewati jalan menanjak yang bukan saja rusak parah, tetapi hancur lebur. Jalan tujuh kilometer perlu ditempuh dalam waktu dua jam. Untungnya, pemandangan Danau Toba dari atas sangat indah. Danau Toba bahkan terlihat dalam sudut 180 derajat melebar. Hutan pinus serta bunga-bunga liar ada di sepanjang jalan.

Sidihoni

Di tengah padang rumput dan ladang, muncullah Danau Sidihoni, danau di atas Danau Toba itu. Di tepian danau yang berujud bukit tampak sebuah gereja tua mungil.

Tidak ada kesibukan wisata di sekitar danau yang sunyi sepi. Hanya sebuah warung kopi dengan beberapa pria yang asyik menongkrong dengan meja biliar dan segelas kopi. ”Dulu sering ada turis bule kemah di sini, mereka suka berenang di danau,” kata Naibaho, warga setempat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com