Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (189): Terkapar

Kompas.com - 27/04/2009, 07:36 WIB

Sekujur tubuh saya sekarang merasakan kepenatan yang luar biasa. Pundak sakit. Kepala berat. Kerongkongan kering kerontang. Perut tak nyaman.

Setelah satu jam menunggu, tiba-tiba, Om Parkash yang dinanti-nanti datang juga.  

Pria ini bertubuh kurus, tak tinggi. Dahinya lebar dan kumisnya lebat, teronggok antara hidung dan bibir. Saya langsung merangkulnya.
          
          “Apa kabar, Augustine? Senang sekali kamu benar-benar ke sini!” serunya.

Saya juga. Saya juga hampir tak percaya, akhirnya sampai ke tempat di ujung pedalaman Pakistan ini, walaupun dengan terseok-seok nyaris terkapar.

Om langsung membawa saya ke rumahnya. Di pinggir jalan gang kecil. Rumah ini berukuran besar sekali, sampai saya takjub melihatnya.

         “Di rumah ini tinggal 52 anggota keluarga, makanya wajar kalau besar,” jelas Om sambil terkekeh.
          
Lima puluh dua orang tinggal dalam satu rumah? Di Pakistan ini sudah biasa.

Saya dipersilakan mandi. Airnya panas sekali, biarpun langsung dari pipa ledeng. Teriknya mentari di negeri ini juga telah mendidihkan air di bawah tanah. Air yang aslinya setengah beningnya bening, tetapi setelah melintasi tubuh saya berubah menjadi sehitam lumpur. Saya sudah seperti manusia padang pasir yang dibungkus debu.

Sehabis mandi, Om langsung memperkenalkan saya ke seluruh penghuni rumah. Lima puluh dua memang bukan angka sembarangan. Pria-pria bershalwar kamiz muncul silih berganti, di balik bilik-bilik mungil yang mirip kos-kosan mahasiswa. Kemudian juga wanita-wanita cantik berbaju sari warna-warni. Tak mungkin saya ingat ini siapa itu siapa. Kemudian anak-anak. Jumlahnya berlusin-lusin. Ada yang berlari-lari, ada yang mengintip malu-malu kucing, ada yang sembunyi-sembunyi ingin menowel saya, orang asing pertama yang datang ke rumah besar ini.

Om menyiapkan masakan istimewa bagi saya. Saya lupa namanya, karena kepala saya terlalu berat untuk mengingat-ingat semua kejutan ini. Katanya ini makanan istimewa orang Hindu. Gorengan semua, berminyak-minyak.

Saya hanya menilik sedikit. Perut saya berontak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com