Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (191): Little India

Kompas.com - 29/04/2009, 07:49 WIB

Pagi hari adalah waktu sibuk, di mana para wanita yang jumlahnya lusinan mulai membersihkan lapangan rumah itu. Nenek tua menyemprotkan air yang mengalir deras dari selang, membilas lantai ubin kotak-kotak hitam putih mirip papan catur. Menantu-menantunya mengepel dengan penuh ketekunan. Yang lainnya lagi merapikan kamar-kamar.

Acara selanjutnya adalah ritual harian, puja, memberikan sesajen kepada dewa dan leluhur. Asap dupa mengantarkan doa mereka. Sehabis puja, Parkash berlatih yoga. Dia memang ahlinya. Segala macam posisi mustahil pun bisa dilakukannya. Tubuhnya sudah lentur sekali seperti plastik. Perlahan-lahan, keringat membasahi badan kekarnya.

Kemudian, ketika para pria berangkat bekerja, kaum perempuan tinggal di rumah untuk memasak dan mengurusi anak-anak yang semakin bandel menghabiskan masa liburan ini. Nenek tua masih sangat lincah. Tanggannya masih kuat untuk menggiling irisan tepung dan membuat cetakan gorengan kecil-kecil. Menantu-menantunya juga sibuk menumbuk bawang, tepung, dan segala macam bumbu-bumbu lainnya.

Ini adalah waktu yang paling ramai bagi para wanita di keluarga ini, yang jumlahnya nyaris selusin. Canda dan gosip mengisi setiap pembicaraan. Tawa meledak tanpa henti, sementara tangan tak pernah berhenti menggiling dan menumbuk.

Tiga orang laki-laki bekerja. Dengan penghasilan total 26.000 Rupee per bulan, sekitar 430 dolar, para pria ini menghidupi semua penghuni keluarga ini. Bayi-bayi terus lahir, menambah meriahnya rumah besar ini. Parkash sedang menanti kelahiran bayinya, yang akan menggantikan anak semata wayangnya yang baru meninggal beberapa tahun silam.

Ketika sore datang, dahsyatnya mentari musim panas di padang pasir Thar pun mulai meredup. Parkash mengajak saya berjalan-jalan menyusuri kota Hindu ini. Kami menuju rumah seorang guru, pemimpin spiritual.

Guru yang satu ini, kata Parkash, sangat luar biasa. Sudah tiga tahun tak setetes pun air dan sesuap makanan masuk melintas kerongkongannya. Dia hidup hanya dari ekstrasi energi yang bertebaran di udara, dihirup dan dikonsumsi dengan teknik kontrol pernapasan tingkat tinggi.

Susah percaya, memang. Parkash meyakinkan, tak makan tak minum selama bertahun-tahun sama sekali tidak mustahil. Dia sendiri pernah bertahan tiga bulan tanpa makanan, mengikukti teknik-teknik yang diajarkan gurunya.

Di kesempatan lain Parkash membawa saya ke rumah pamannya, seorang dukun tradisional, yang menyiapkan obat-obat ajaib diiringi mantra-mantra.

Mantra-mantra sakti, bersama kasih sayang keluarga besar, membuat saya bertahan hidup dalam terik yang membakar.

(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com