Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramadhan di Perancis (1)

Kompas.com - 04/09/2009, 10:08 WIB
Tayang setiap Jumat


Kembali ke Montpellier, setelah tiga hari merasakan berpuasa di Jakarta, terasa sekali perbedaannya. Perbedaan itu tidak hanya menyentuh hati, tapi juga perut. Montpellier adalah kota di Perancis selatan. Sembilan tahun sudah saya dan suami serta dua pangeran kecil kami, Adam dan Bazile, menetap di kota ini. David Massabuau, lelaki Perancis yang meminang saya 10 tahun lalu, telah menjadi seorang muslim jauh sebelum kami menikah. Shalat dan puasa sudah menjadi bagian dari kehidupan kami meski kami tinggal di negeri yang kebanyakan penduduknya menganut keyakinan berbeda.

Saya kembali ke Montpellier pada bulan Agustus saat liburan musim panas masih berlangsung. Suasana liburan masih kental sekali terasa di sini. Pantai penuh dibanjiri manusia yang ingin menggosongkan kulitnya. Restoran menyajikan beraneka ragam makanan khas Perancis selatan yang menggugah air liur. Dan, yang membuat gigi harus terkatup rapat adalah berbagai macam ice cream yang dijajakan hampir di setiap sudut taman kota. Perut saya tak henti berisik memainkan orkes keroncong orang lapar. Mulut rasanya mau meleleh kepengin merasakan kenikmatan ice cream yang sedang dijilat oleh seorang anak kecil dengan asyiknya.

Menahan lapar karena puasa sebenarnya bukanlah hal baru. Sejak umur 9 tahun saya sudah diwajibkan oleh keluarga berpuasa hingga beduk mahgrib, walaupun terkadang sering batal di tengah jalan tapi tak mau mengakui. Tapi yang jadi masalah saat ini adalah berpuasa di musim panas. Hawa panas dan terik matahari yang menyengat tubuh membuat kepala menjadi pening.

Berpuasa dengan suhu hingga 40 derajat celcius  sejak pukul 05.00 hingga pukul 21.30 bukanlah hal yang mudah dilakukan. Sementara, segala kegiatan rumah tangga semua harus dilakukan sendiri dari pagi hingga malam hari. Mulai dari dari urusan anak-anak, masak, belanja, menyetir ke sana kemari, beberes hingga menidurkan anak, semua dikerjakan tanpa bantuan OB (orang belakang alias pembantu).

Nah, karena hari masuk sekolah masih beberapa hari lagi, anak saya yang tertua mulai rewel minta diajak jalan-jalan. Panas dan gerah begini enaknya tentu saja ke tempat terbuka. Pantai Palavas (hanya 10 menit dari kediaman kami) menjadi pilihan. Tempat itu memang tempat favorit keluarga kami. Anak-anak dan suami saya kalau sudah bertemu pasir dan air laut girangnya bukan main. Apalagi di pantai Palavas ini disediakan taman bermain gratis untuk anak. Lengkaplah daerah ini menjadi tempat kesayangan kami sekeluarga.

Tapi, seperti yang sudah saya duga, pantai yang kami datangi masih ramai dengan turis yang sibuk "menghanguskan" diri. Di hari-hari terakhir liburan musim panas ini makin getol saja mereka membolak-balikan badannya (seperti bakar sate), agar terlihat gosong. Supaya kulit merata terbakar matahari maka badan mereka dibiarkan saja terbuka secara alami agar tidak belang. Kalau sampai ada bekas putih karena tertutup baju renang, wah.. itu tidak indah dari sudut penampilan. Tidak seksi. Begitulah, hamparan tubuh para wanita yang tidak mengenakan sehelai benang di bagian atas tubuhnya adalah pemandangan yang lumrah di pantai ini.

Kalau sudah begini mau bilang apa? Masak saya harus suruh mereka pakai lagi bikininya karena  suami sedang berpuasa, atau suami saya minta para pria agar menggunakan kembali celana renangnya agar mata istrinya tak batal puasa? Yah, begitulah kondisi yang harus kami lakoni sebagai umat muslim yang mencoba menjalankan ibadah di negeri yang mungkin tak tahu sama sekali jika saat ini umat Islam di dunia sedang melaksanakan Ramadhan.  Mata tetap terbuka, tapi hati dan mulut tak berhenti beristighfar. Saya angap saja pemandangan ini merupakan salah satu keindahan Allah menciptakan manusia dengan segala bentuk dan ukuran (bisa saja...).

Setelah puas main air laut, kami berjalan-jalan di dalam kota. Kota Palavas yang memiliki pantai terkenal ini adalah incaran kami menghabiskan waktu bersama keluarga atau teman sejak musim semi. Duduk berjam-jam sambil meneguk bercangkir-cangkir kopi hangat dibarengi obrolan, asik sekali terasa. Bahkan di musim dingin pun ketika matahari bersinar cerah tanpa segan kami langsung menuju ke kawasan ini. Tapi di bulan ramadhan ini, bisa di tebak, harum kopi begitu  menggoda hidung saya, apalagi saya ini pengopi berat. Godaannya bukan hanya kopi. Pesona ice cream beraneka warna dan rasa membuat lidah dari badan yang panas ini ingin sekali melumat dinginnya. Sepotong ice cream rhum raisin tentunya akan menyegarkan tenggorakan yang sudah kering.

Kalau soal melihat orang menyantap makanan memang membuat perut sedikit berbunyi, wajarlah karena kosong sedari subuh. Godaan yang satu ini biasanya tak terlalu membuat air liur terdorong keluar. Minuman segar. Itulah godaan utama di tempat ini. Tanpa bisa dikendalikan, bayang-bayang air minum mengalir di kerongkongan muncul terus di kepala. Karena itu saya cepat-cepat mengalihkan pandangan saya ke butik-butik yang menjual beranekan ragam kerajinan setempat. Kerajinan Indonesia lumayan banyak dijajakan juga loh. Rasa hauspun terganti dengan keasyikan melihat pernak pernik khas Mediterania yang memiliki ornamen unik bergambar bunga lavander dan buah zaitun.

Memang, di bulan suci ini, hal terbaik yang bisa dilakukan untuk menghindari godaan adalah berdiam diri saja di rumah. Tapi bagi saya  justru di situlah seninya hidup sebagai seorang muslim di negara non muslim. Dengan beraktivitas normal ke luar rumah toleransi saya diperkaya dan keimanan saya semakin diuji. Insya Allah dengan niat dan ridho-Nya, semerbak wangi kopi, lelehan ice cream hingga panggangan sinar matahari bisa saya lalui dengan lapang dada, walaupun tak saya pungkiri tetap saja terkadang perut dan mata ini dibuat miris oleh bayang-bayang kolak biji salak kesukaan saya segera terhidang menjadi manisan pembuka puasa...


(Bersambung)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com