Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramadhan di Perancis (2)

Kompas.com - 11/09/2009, 11:31 WIB

Sebagai seorang mahluk ciptaan Allah yang penuh dengan segala kekurangannya, saya akui, saya ini masih jauh dari kesempurnaan dalam beridabah. Bahkan saya sering bertanya, seperti apakah suatu kesempurnaan dalam beribadah itu? Karena merasa serba kekuranganlah saya memang sering mencari jawaban dari berbagai buku agama Islam. Ada yang saya beli sendiri ketika pulang ke tanah air, ada juga yang merupakan hadiah dari orangtua atau teman.

Di bulan Ramadhan ini, misalnya, saya dan suami sedikit lebih giat dalam mencari arti dari ayat surat yang kita baca. Namun, kadang memang sering terjadi benturan dalam pengartiannya. Suami saya, Kang Dadang, walaupun sangat fasih berbahasa Indonesia, tapi lebih memilih Qur'an dengan terjemahan Perancis. Lebih mudah dicerna menurutnya. Sayangnya, seringkali arti dalam bahasa Perancis sedikit berbeda dengan arti dalam bahasa Indonesia.

Perbedaan seperti ini memang baiknya ditanyakan langsung kepada ustadz atau ulama. Tapi, tidak mudah mencari ustadz atau ulama di kota saya. Biasanya kita mencari jawaban dari internet. Memang saya akui jawaban yang kami dapat tak selalu memuaskan, tapi setidaknya bisa menjadi titik terang dari perbedaan pendapat kami.

Kesulitan lain yang kami hadapi adalah soal dukungan. Saya merindukan suasana Ramadhan di tanah air yang penuh dengan dukungan. Dulu saya menganggap dukungan di bulan puasa adalah hal biasa. Kini saya baru merasakan ternyata dukungan adalah sesuatu yang luar biasa bagi kita dalam menjalankan ibadah.  

Berpuasa di Indonesia, walaupun melihat makanan atau minuman segar, paling hanya tergiur begitu saja, tidak  sampai bikin merana perut dan tenggorakan. Kenapa? Karena, banyak orang sekitar kita yang juga ikut menjalankan ibadah ini.

Acara televisi di Indonesia pun mendukung kita. Sejak sahur hingga berbuka televisi menayangkan acara-acara keagamaan yang meneguhkan iman kita. Berbuka dan tarawih di tanah air yang dilakukan bersama-sama menambah semangat kita dalam berpuasa. Dan, kumandang adzan di setiap waktu shalat mengingatkan kita agar selalu dekat dengannya.

Tahun ini saya merasa beruntung dapat melewatkan waktu berbuka hari pertama di negeri sendiri. Masya Allah, hati saya tersentuh sekali ketika mendengar adzan berkumandang, menandakan akhir dari puasa di hari itu. Delapan tahun saya tak merasakan suasana ini.

Di kota saya Montpellier, kumandang adzan atau acara keagamaan yang memperkaya wahana keislaman kita adalah kemewahan. Di bulan Ramadhan ini ibadah harus dilakukan atas niat penuh dari diri sendiri. Memang, di zaman serba canggih seperti sekarang kita bisa saja mendengarkan pengajian melalui internet, tapi tak bisalah menyamai kekhusyukan dan kenikmatan dalam bertadarus bersama. Dalam situasi seperti ini kita dituntut kreatif  membangun semangat beribadah.

Teman-teman Perancis saya banyak yang tidak mengerti kenapa kita harus berpuasa, menahan lapar dan haus layaknya fakir miskin. Menurut mereka, kalau ingin mengontrol diri mengapa harus dilakukan dengan cara menyiksa tubuh yang berisiko dehidrasi karena tidak minum. Teman “seperjuangan”  di bulan suci ini bisa dihitung dengan jari. Tapi, saya bersyukur, setidaknya ada empat orang teman muslim di kota ini yang juga menjalankan ibadah puasa. Mereka adalah mahasiswa  yang menetap sementara hingga masa studi merek usai.

Kepada teman-teman Perancis yang heran dengan gaya ibadah kaum muslim ini, saya menjelaskan seperlunya. Berpuasa bukanlah siksaan dan kami tidak merasa tersiksa melakoninya. Entahlah apa mereka mengerti sepenuhnya atau tidak, saya hanya mencoba menerangkan apa yang mereka tanyakan.

Kolak biji salak

Nah, lucunya, tahun lalu sejumlah teman Perancis yang terkenal penasaran meminta saya untuk mengajak mereka buka puasa bersama. Sebelumnya, saya ceritakan kepada mereka bahwa buka puasa itu terasa beda sekali dengan makan malam biasa. Ada tahapnya, dimulai dari yang manis-manis lalu shalat dulu dan kemudian dilanjutkan dengan makanan besar. Saya rasa makanan manislah yang membuat mereka penasaran.

Jadilah saya dan suami mengundang beberapa teman Perancis kami berbuka puasa di rumah. (walaupun hanya kami berdua yang berpuasa). Sebagai menu pembuka, kami memutuskan untuk membuat kolak biji salak. Untuk makanan utama, saya membuat gulai sapi, sayur nangka, tumis sayur tahu dan telur balado spesial masakan suami saya, Kang Dadang. Satu lagi, sambal goreng pete Kang Dadang. Meski orang Perancis tulen, untuk urusan pete Kang Dadang jagonya.

Saat itu buka puasa jatuh pukul 20.00. Para tamu yang jumlahnya enam orang sudah hadir setengah jam sebelumnya. Minuman hangat sudah saya siapkan. Kurma dan manisan buah pun sudah tersaji di meja tamu. Tak lupa saya sajikan tarte appel bagi mereka yang tak menyukai kurma maupun manisan buah-buahan.

Waktu maghrib pun tiba. Kepada para tamu kami sampaikan acara buka puasa bisa dimulai. Mereka protes. Mana adzan maghribnya? Alamak, kami lupa menyiapkan suara adzan dari internet. Kami terbiasa menggunakan kalender yang kami cetak (print) sebagai penanda waktu. Mereka penasaran sekali dengan kumandan adzan karena sebelumnya saya bercerita suara adzan maghrib adalah penanda waktu berbuka. Tanpa adzan maghrib kami lalu memulai ritual buka puasa.

Saat minuman hangat dan cemilan manis mulai masuk mulut, saya tanyakan kepada mereka, apakah mereka melakukan permintaan saya? Saya meminta mereka untuk tidak makan dan minum setidaknya empat jam sebelum waktu buka. Salah seorang menyeletuk, “Saya sudah lima jam tidak makan dan minum. Dari tadi sebenarnya saya menunggu suara adzan karena perut keroncongan dan haus bukan main. Heran benar, bagaimana kalian bisa bertahan 15 jam tanpa makan dan minum.”

Makanan utama yang kami sajikan tersikat habis. Teman-teman kami makan sambil berlinang air mata. Bukan karena haru, tapi karena kepedasan telur balado dan sambal goreng pete Kang Dadang.  Rasa pedas bukan tradisi kuliner Perancis, tapi herannya mereka semua suka meski menurut mereka mulut serasa terbakar dan kuping menjadi berasap.

Akhirnya, tibalah saatnya makanan penutup di sajikan. Dari sejumlah makanan penutup yang kami sajikan, mereka memilih kolak biji salak yang bersauskan santan. Mungkin karena menu itu Indonesia banget kali ya.

Saya dan suami  sampai stres membuat biji salak ini. Sepanjang hari kami bolak-balik ke supermarket mencari ubi. Entah sudah berapa ubi yang kami buat. Ubi yang kami dapatkan di sini terlalu lembek, tidak bisa membulat saat tercampur tepung sagu.

Saat akhirnya berhasil membuat bulatan kolak biji salak hati ini girang dan bangga bukan main. Gula jawa yang kami campur dalam santan pun spesial, karena kami berhasil mendapatkan gula asli Indonesia di kota ini. Top lah, pikir kami berdua. Inilah menu penutup khas Indonesia.

Tapi apa yang terjadi, saya seketika berhenti mengunyah ketika mendapati ekspresi aneh wajah teman-teman Perancis kami. Ada yang makan sambil nyengir. Ada yang mulutnya miring-miring saat mengunyah.

“Bagaimana kolaknya, enak?” tanya saya cemas.
“Jujur ya Din, sausnya lezat sekali, tapi kenapa bola-bola kuning ini seperti karet?” jawab seorang teman yang diiyakan yang lain.

Saya tadinya membayangkan bahwa kolak biji salak akan jadi menu pamungkas andalan, ternyata mereka tidak suka sama sekali. Nasiiibbb....

“Ya sudah kalau tidak suka enggak usah dihabiskan, bisa ganti menu yang lain,” jawab saya demi menjaga kesopanan.
“Kalau ada yang tidak suka, biar saya habiskan kolaknya. Saya suka sekali makanan Indonesia ini,” Kang Dadang menimpali dengan polosnya.

Tanpa komando, satu persatu menumpahkan bola-bola biji salak ke mangkuk suami saya.

Dasar Kang Dadang, dengan tenangnya dia habiskan satu persatu kolak biji salak kepunyaan mereka.

“Alhamdulillah, puas nih makan kolak, tadinya udah sedih saja cuma kebagian jatah satu mangkok kecil...rezeki buka puasa nih!” ucap Si Akang.

Tahun ini, beberapa teman Perancis menelpon saya untuk meminta diundang buka puasa lagi. Dengan senang hati saya akan kembali mengundang mereka. Saya katakan pada mereka, buka puasa tahun ini jatuh pukul 21.30. Mereka menawar,  “Yang buka puasanya jam delapan kapan, Din?”


(Tamat)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com