JAKARTA, KOMPAS.com — Belum selesai dibuat dan disahkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah atau Bappeda Pemerintah Daerah DKI Jakarta, rancangan peraturan daerah atau raperda baru terkait Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta untuk tahun 2030 sudah ditolak.
Penolakan datang dari gabungan beberapa LSM, antara lain Walhi dan LBH Jakarta, yang menamakan diri mereka Jaringan Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang Jakarta 2030.
Dalam konferensi pers yang digelar di LBH Jakarta, Jumat (15/1/2010), Direktur Eksekutif Walhi Ubaidillah mengatakan bahwa draf Raperda RTRW DKI Jakarta 2030 sebentar lagi akan segera disahkan menjadi Perda. Namun, proses perumusan dan penyusunan draf tersebut oleh Pemda DKI Jakarta cenderung eksklusif, tidak transparan, dan tidak melibatkan masyarakat secara luas. Dengan demikian, pembangunan yang dilakukan nanti dikhawatirkan tidak akan mempertimbangkan keadilan dan keseimbangan ekologis.
"Dikhawatirkan, penetapan dan pembangunan lahan nanti cenderung mengikuti pemodal. Selain itu, kami khawatir terjadi pula manipulasi dan pengalihan fungsi ruang terbuka hijau (RTH) dan kawasan resapan air atau juga wetland (rawa-rawa) menjadi lahan-lahan perumahan bahkan ruang sektor bisnis, seperti yang terjadi selama 3 dekade ini," paparnya.
Selama 3 dekade ini, menurut pantauan Walhi, masih banyak RTH atau wetland di Jakarta yang berubah fungsi tiba-tiba menjadi lahan perumahan dan ruang sektor bisnis. Sementara itu, Perda RTRW DKI Jakarta 2010 yang mengatur tentang fungsi lahan tersebut seolah tak berkutik.
"Selama hampir 3 dekade ini, kalau menurut pengamatan Walhi, banyak RTH atau wetland yang tiba-tiba berubah fungsi jadi perumahan, gedung-gedung, atau mal-mal. Wetland di Kapuk misalnya, tadinya luasnya sekitar 1.114 meter, tapi sekarang 900 meter dari wetland tersebut sudah jadi bangunan semua," ujar Ubaidillah.
Menurut Ubaidillah, berdasarkan Perda RTRW 2010, seharusnya alokasi RTH Publik dapat mencapai 20 persen. Namun, Pemda belum dapat mencapai target itu. Hingga saat ini, jumlah RTH di Jakarta baru bisa mencapai 6,2 persen karena alokasi lahan lebih banyak diprioritaskan untuk para pelaku usaha yang mengokupasi RTH.
Melihat kegagalan penerapan Perda RTRW 2010 tersebut, akhirnya Jaringan Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang Jakarta 2030 menolak "sementara" disahkannya Raperda RTRW Jakarta 2030. Mereka meminta Pemda DKI Jakarta menunda pengajuan draf raperda tersebut ke DPRD provinsi sampai pemda, dalam hal ini Bappeda, melibatkan masyarakat dalam proses perumusan.
Pada akhir konferensi pers, mereka menegaskan akan melakukan upaya hukum apabila dalam 7 hari setelah diajukannya tuntutan ini, Pemda DKI Jakarta tidak melakukan aksi konkret melibatkan masyarakat dalam penyelesaian draf raperda itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.