BANDUNG, KOMPAS
Acil Bimbo, budayawan dan tokoh masyarakat Sunda, mengatakan, persoalan Tangkubanparahu seperti bom waktu jika pemerintah tidak tegas. ”Masyarakat sudah lelah menahan sabar karena kasus sudah tiga tahun. Pemberian izin kepada PT Graha Rani Putra Persada (GRPP) menunjukkan pemerintah tidak ada tenggang rasa kepada warga,”
Acil mengingatkan, pengembangan Tangkubanparahu oleh swasta tanpa melewati prosedur semestinya akan berdampak buruk secara sosial, ekologis, ekonomis, dan etnisitas.
Terlebih, lanjut Acil, Tangkubanparahu adalah lambang kebanggaan Jabar. ”Di sana tersimpan cerita, pantun, dan situs budaya serta alam yang tidak ternilai harganya,” kata Acil.
Acil menagih janji pemerintah menghijaukan kawasan hutan dengan berbagai program, termasuk penanaman satu miliar pohon yang tahun lalu dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Juru bicara masyarakat adat Tangkubanparahu, Dadang Hermawan, menyatakan, warga akan mengepung Gedung Sate, Bandung, untuk menuntut Gubernur dan DPRD Jabar bersikap tegas. ”Kami akan turun pada 30 Mei. Harga diri masyarakat Sunda dihinakan dengan berlarut-larutnya masalah ini. Kami menuntut pemerintah segera mencabut izin PT GRPP,” katanya.
Ketua Komisi B DPRD Jabar Hasan Zaenal Abidin berjanji akan mempertemukan semua
Secara kelembagaan, Abidin sepakat dengan tuntutan warga Tangkubanparahu. DPRD Jabar juga menyayangkan pengelolaan Taman Wisata Alam Tangkubanparahu oleh PT GRPP yang tidak memberikan retribusi 30 persen kepada Kabupaten Bandung Barat dan Subang selaku pemilik wilayah administratif.
Gubernur Jabar Ahmad Heryawan telah berkirim surat kepada Menhut tertanggal 2 Desember 2009. Isinya, meminta Kemhut mencabut dan membatalkan Keputusan Menhut Nomor 306/Kpts-II/2009 yang memberikan izin pengusahaan pariwisata alam kepada PT GRPP. Namun, surat itu belum dibalas Menhut.