Di daerah bawah, berdekatan dengan Pasar Nagari Ganggo Hilir, terdapat meriam bekas peperangan. Senjata berat itu tertimbun dalam tanah yang sekarang ditutup keramik. Yang terlihat hanya moncong meriam serta beberapa bola mesiu.
Datuk Putih Muhammad Ali (78), warga Desa Tanjung Bungo, Bonjol, menjelaskan, Bukit Tak Jadi merupakan basis pertahanan penting Tuanku Imam Bonjol. Dari sinilah pahlawan itu menggalang kekuatan dan bertahan dari gempuran pasukan Belanda dari tahun 1821 sampai 1837. Sebagaimana halnya Perang Diponegoro di Jawa (1825-1830), Perang Paderi merupakan perlawanan besar yang merepotkan Belanda saat itu.
Tenggelam
Hanya saja, semua sejarah kepahlawanan itu kini seakan hanya menjadi cerita maya. Benteng peninggalan perang itu tertutupi semak belukar. Berbagai sarana pertahanan rusak, bahkan lenyap akibat tak terurus. Hanya orang-orang nekat saja yang mau bersusah-payah menelusuri sejarah di bukit tersebut.
Mengunjungi benteng pertahanan pahlawan nasional itu membuat hati kami terenyuh. Bagaimana bisa peninggalan sejarah kepahlawanan Imam Bonjol yang besar tersebut dibiarkan terbengkalai begitu saja di kampung halamannya sendiri? Lalu, di mana semangat jargon lama bahwa bangsa besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya?
Sekadar mengingat, Imam Bonjol lahir di Tanjung Bungo, Kanagarian Ganggo Ilir, tahun 1772, dengan nama Peto Syarif. Gelar Imam Bonjol diperoleh setelah dia menjadi ulama dan memimpin kelompok Islam dalam menegakkan kedaulatan kawasan itu. Tahun 1821, pecah bentrok antara pasukan Imam Bonjol dan kaum adat yang dihasut dan disokong Belanda.
Pertempuran, yang kemudian dikenal sebagai Perang Paderi, ini berlangsung selama 16 tahun. Setelah berdalih diajak berunding, Imam Bonjol akhirnya ditangkap di Bukittinggi tahun 1837. Pahlawan ini dibuang ke Betawi, Cianjur, Ambon, kemudian Manado, Sulawesi Utara. Dia meninggal dan dimakamkan di Manado tahun 1864.
Sebenarnya pemerintah telah membuat monumen bagi pahlawan ini. Di dekat Tugu Garis Khatulistiwa di samping Jalan Raya Bukit Tinggi-Bonjol, ada Museum Imam Bonjol yang cukup besar. Bangunan dua lantai itu menampilkan sejumlah buku sejarah, senjata, dan berbagai peninggalan dari Perang Paderi.
Sayang, museum tersebut kurang terurus. Sebagian bangunan rusak; berbagai benda peninggalan karatan atau keropos. Bahkan, kami harus menunggu lama untuk dapat masuk museum karena terkunci dan penjaganya sedang pergi.
Bersama