Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Presiden Gatotkaca?

Kompas.com - 14/07/2010, 02:58 WIB

R William Liddle

Sebuah adegan di Gedung Putih, Minggu lalu. Presiden Obama sedang mencukur mukanya. Ia diganggu anak sulungnya, Malia, ”Apakah Ayah sudah menutup lubang minyak di Teluk Meksiko?” ”Belum seluruhnya, Malia....”

Sasha, anak bungsunya, langsung menyeletuk, ”Ayah! Apakah ayah sudah mengakhiri perang- perang di Irak dan Afganistan?” ”Sebentar, Sasha. Saya sedang menjelaskan sesuatu kepada Malia.”

Sasha mendesak, ”Bagaimana resesi ekonomi? Apakah sudah diperbaiki?” ”Anak-anak tercinta,” keluh Obama, ”biarkan saya....” Namun, keduanya menghardik. Lalu terdengar suara Ibu Negara, ”Barack, apakah sekolah- sekolah sudah dibetulkan sesuai dengan permintaan saya?” Presiden meledak, ”Keluar semua!” Adegan berakhir dengan ungkapan keprihatinan kedua anaknya. ”Tenang, Ayah, jangan-jangan bertambah uban.” Dan, ”Aduh, pipinya berdarah!”

Komik koran itu menggambarkan, tentu secara bergurau, tingkat tinggi frustrasi politik masyarakat Amerika masa kini. Latar belakangnya, menurut pendapat saya, adalah harapan yang berlebihan pula ketika Barack Obama dilantik 18 bulan lalu. Keberhasilan utamanya sejak itu, undang-undang reformasi kesehatan, kurang mendapat sambutan masyarakat. Lagi pula, tantangan baru mengalir terus, terutama yang berhubungan dengan tumpahan minyak di Teluk Meksiko. Saya teringat pada tokoh pewayangan Gatotkaca, yang juga menimbulkan harapan berlebihan dan akhirnya gugur dalam perang Baratayudha.

Gambar frustrasi masyarakat dipertajam oleh sejumlah survei. Gallup Poll melaporkan bahwa persentase pemilih independen, tanpa ikatan partai, yang mendukung Obama menurun dari 56 persen tahun lalu menjadi 38 persen pada pertengahan 2010. Kelompok ini dianggap memainkan peran kunci yang memenangkan Obama dalam pemilihan presiden 2008. Dukungan di partainya sendiri, Partai Demokrat, juga menurun, dari 90 persen menjadi 80 persen, serta di partai oposisi, Partai Republik, dari 20 persen menjadi 12 persen.

Angka-angka yang anjlok itu diperhatikan dengan saksama sebab kami sudah memasuki babak prapemilu sela (midterm) dua tahunan. Bulan November 2010, sepertiga anggota Senat dan semua anggota Dewan Perwakilan terpaksa mempertarungkan kursi-kursi mereka. Pemilu midterm adalah ciri khas sistem presidensial Amerika. Ia merupakan pengujian elektoral pertama seorang presiden baru.

Bagaimana seharusnya kita menilai posisi politik Presiden Obama satu setengah tahun setelah dia dilantik? Semakin mungkinkah dia akan ditewaskan dalam pemilihan presidensial 2012 oleh seorang Karna dari Partai Republik? Apa yang harus diperbuatnya untuk mengelak dari nasib sial ini?

Penentu: perekonomian

Dalam hal ini, saya melihat suatu kesejajaran dengan pengalaman Presiden Yudhoyono di Indonesia. Nasib SBY dari tahun 2004 sampai dengan 2009 ditentukan sebagian besar oleh sikap masyarakat pemilih terhadap kondisi nasional ekonomi Indonesia. Selama itu, Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengadakan survei nasional setiap tiga bulan. Pertanyaannya, antara lain, menyangkut dua hal: sikap terhadap kondisi ekonomi, apakah lebih baik atau lebih buruk ketimbang tahun lalu; dan pilihan calon presiden, seandainya pemilihan presiden diadakan pada hari itu.

Hasilnya sangat konsisten. Saat sebagian besar pemilih merasa ekonomi nasional lebih baik tahun ini, mereka cenderung memilih kembali Presiden SBY. Sebaliknya, saat sebagian besar merasa ekonomi nasional tahun lalu lebih baik, mereka cenderung memilih lawan utamanya. Contoh yang paling mencolok mata: menurut data LSI, seandainya pemilihan presiden diadakan bulan Juni 2008 (bukan Juli 2009 yang sebenarnya), ada kemungkinan Megawati Soekarnoputri akan menggantikan SBY. Bulan itu LSI mencatat, jumlah pemilih paling banyak selama lima tahun yang lebih suka ekonomi tahun lalu.

Faktor ekonomi tentu tidak menjelaskan seluruh hasil pemilihan presiden. Para peneliti LSI, termasuk saya, juga menemukan faktor penting lain, seperti daya tarik pribadi seorang calon atau pengaruh kampanye TV. Jadi, seandainya pemilihan presiden di Indonesia betul-betul (bukan hanya dalam survei LSI) dilakukan pada Juni 2008, pasti faktor-faktor itu akan ikut berdampak.

Pembentukan sikap pemilih di Amerika tidak banyak berbeda dengan pola Indonesia. Larry Bartels, ilmuwan politik kenamaan dari Universitas Princeton, menyimpulkan, menurut Washington Post, bahwa 1 persen naiknya laju pertumbuhan ekonomi pada tahun pemilihan presiden akan mengakibatkan 2 persen naiknya persentase suara calon partai yang sedang berkuasa. Sebaliknya, resesi ekonomi bisa berakibat fatal terhadap partai yang sedang berkuasa, seperti memang terjadi pada Partai Republik tahun 2008.

Para pendekar pendekatan ini bersikap lebih hati-hati mengenai pemilu-pemilu midterm. Namun, kelesuan ekonomi tahun ini berarti bahwa sejumlah signifikan legislator dari Partai Demokrat hampir tak mungkin dipilih kembali. Namun, yang ditekankan sebagian besar ilmuwan politik bukan pemilu 2010, melainkan 2012. Hanya pertumbuhan ekonomi secara nyata, bukan prestasi-prestasi sekunder—baik tentang lubang minyak, perang, sekolah, maupun defisit anggaran belanja negara—yang akan berhasil mengirimkan kembali Barack Obama ke Gedung Putih.

R William Liddle Profesor Ilmu Politik, Ohio State University, Columbus, Ohio, AS

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com