KOMPAS.com — Irwan (43) menyandarkan tubuhnya ke tembok, beralaskan lantai yang hangat. Wajah pemudik asal Jakarta yang mulanya terlihat letih ini sirna seketika seusai melihat pemandangan menakjubkan di depannya, Senin (13/9/2010).
Di depannya terhampar pemandangan indah Teluk Lampung dan Selat Sunda dengan lautnya yang berwarna biru temaram. Hadirnya gugusan pulau berwarna hijau kian menambah lengkap indahnya pemandangan di siang yang cerah itu.
Pemandangan Kepulauan Lunik, Teluk Lampung, dan Selat Sunda siang itu terlihat layaknya giok-giok dan zamrud di atas hamparan kanvas berwarna biru. "Pemandangannya sungguh indah. Senang sekali bisa ada di sini," tutur Irwan.
Pemandangan yang indah ini tersaji dari puncak bukit di Menara Siger, Bakauheni, Lampung. Dari atas bukit ini pula terlihat belasan kapal roro (roll-on roll-off) hilir mudik ke dermaga-dermaga di Pelabuhan Bakauheni. Kesibukan di pelabuhan ini saat arus balik pun terlihat.
Desir semilir angin sesekali pecah oleh suara klakson kapal roro yang terdengar membahana. Puluhan pengunjung di sini nampak asyik bersantai menik mati suasana, sementara sebagian lainnya bernarsis ria mengabadikan dirinya beserta pemandangan indah itu.
Sebetulnya sudah sejak lama warga Jakarta ini memendam penasaran ingin mampir ke salah satu ikon baru di bumi Sai Ruwai Jurai ini. "Kalau kita turun dari kapal, ini (menara Siger) mesti sudah terlihat dari kejauhan," ujarnya.
Ya, bagi mereka yang kerap melintasi Selat Sunda atau turun ke Pelabuhan Bakauheni menggunakan jasa kapal roro, Menara Siger ini memang mencolok mata. Bangunan tinggi yang berwarna merah dan emas ini terlihat menonjol di puncak bukit karst. Di bawahnya terlihat tulisan besar Lampung.
Menara Siger yang tingginya mencapai 32 meter dan terdiri dari enam lantai ini adalah landmark atau penanda di pintu masuk ke provinsi terujung selatan di Sumatera ini. Sesuai dengan namanya, menara yang konstruksinya dibuat tahun 1995 ini berbentuk menyerupai siger yaitu mahkota adat pengantin wanita di Lampung.
Prinsip-prinsip konstruksi bangunan yang diarsiteki salah satu tokoh Lampung, Anshori Djausal, ini mengadopsi elemen perahu sebagai salah satu simbol Nusantara. Bangunan ini terdiri dari sembilan rangkaian yang melambangkan pula sembilan kebuaian (marga adat) di Lampung.
Bangunan ini sekaligus merupakan simbol tatanan sosial masyarakat di Lampung. Ini terlihat dari ornamen arsitektur berupa payung tiga warna (putih, kuning, dan merah) di atas puncak menara. Ornamen ini menandakan bahwa masyarakat adat Lampung masih memiliki struktur strata sosial. Bangunan ini juga memiliki ukiran bercorak kain tapis khas Lampung.
Titik nol Sumatera
Hal lainnya yang tidak kalah menarik, di menara yang diresmikan Gubernur Lampung Sjahchroedin ZP ini tercantum pula informasi penanda titik nol dan jarak-jarak ke wilayah lain, baik di Sumatera maupun Jawa. Dari tempat ini, misalnya, kita bisa tahu bahwa jarak Bakauheni ke Banda Aceh mencapai 2.652 kilometer.
Dari papan informasi di Lantai II di menara ini pula kita tahu bahwa jarak Bakauheni-Jakarta sebetulnya tidak terlalu jauh, hanya 117 km. Jarak ini tidak lebih jauh dari Jakarta Bandung.
Untuk bisa masuk ke kawasan Menara Siger, pengunjung dikenai biaya tidak resmi Rp 5.000 per motor atau Rp 10.000 untuk mobil. Untuk bisa lebih masuk ke dalam bangunan, para pengunjung dikenai lagi biaya Rp 1.000 per orang. Menara ini dilengkapi pula dengan sejumlah informasi tentang wisata di Lampung.
Dari menara yang berketinggian 110 meter di atas permukaan laut inilah kita bisa melihat pemandangan pesisir Merak, Banten. Pasalnya, jarak Merak-Bakauheni hanya 27 km. Namun, baik Merak maupun Pulau Jawa hanya bisa terlihat jika cuaca sedang cerah.
Jembatan Selat Sunda
Di puncak bukit inilah kita bisa melamun membayangkan apabila Jembatan Selat Sunda (JSS) nantinya jadi terbangun. Dari titik ini nantinya akan terlihat seluruh rangkaian struktur jembatan yang menghubungkan dua pulau terpadat di Indonesia ini.
M Husnul Arif (18), pengunjung asal Lampung Tengah yang tengah menikmati suasana di Menara Siger, punya kesan tersendiri terkait rencana pembangunan JSS ini. Menurutnya, secara logika, ide pembuatan jembatan sepanjang 29 km itu sangat sulit terwujud.
"Dari internet saya dapat informasi, pembuatan JSS ini secara logika hampir tidak mungkin. Di bawah Selat Sunda itu kan sering kali terjadi pergeseran lempeng-lempeng bumi. Bayangkan akibatnya apabila ada jembatan di atasnya," ujar siswa kelas III SMA ini mengutarakan opininya tentang JSS.
Meskipun demikian, ia tetap berharap mimpi masyarakat Sumatera dan Lampung khususnya agar JSS bisa betul-betul terwujud. Masyarakat pun tidak lagi sekadar membayangkannya dari Menara Siger.... (Yulvianus Harjono)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.