Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Arezzo Leluhur Solmisasi

Kompas.com - 13/10/2010, 16:33 WIB

Oleh: Salomo Simanungkalit

Kota leluhur metode modern membunyikan nada ini menyandingkan kejayaan peradaban abad pertengahan dengan wajah modern khas kota kecil Italia masa kini.

Lawatan kali ketiga saya ke Italia yang berlangsung di musim gugur tahun ini adalah untuk mendampingi sebuah paduan suara berbasis di Batavia yang hendak berlaga di Kota Arezzo. Suasana musikal membalut perjalanan kami dengan bus selepas dari Bandar Udara Leonardo da Vinci di Fiumicino, Roma. Suara terlatih melantunkan sepotong lagu Neapolitan seolah mengingatkan bahwa kami telah belasan jam meninggalkan Bandara Soekarno-Hatta.

Beberapa dari 40 anggota kor itu—di dalam bus—sibuk berlatih mandiri beberapa bagian sulit sebuah komposisi. Ya, berlatih sendiri sambil masing-masing pegang garpu tala. Benarlah nasihat Maria kepada anak-anak Von Trapp dalam The Sound of Music bahwa when you know the notes to sing, you can sing most anything.

Masih ingat bagian film itu? Maria membelakangi kusir, berhadapan dengan anak- anak itu: Doe, a deer, a female deer/Ray, a drop of golden sun/Me, a name I call myself/Far, a long, long way to run... Once you have these notes in your heads, you can sing a million different tunes by mixing them up.

Namun, kami tak sedang menuju Salzburg, kota-latar anak-anak Von Trapp akhirnya jatuh hati kepada Maria, calon biarawati, untuk dipersunting ayahnya sebagai ibu tiri. Kami hendak ke Arezzo! Apabila penonton film merasa Maria von Trapp yang mengintroduksi solmisasi sejak 1965, saat The Sound of Music dapat lima Oscar, maka kaum terdidik dalam musik mengenal Guido d’Arezzo, penemu do-re-mi-fa-sol-la sebagai metode mudah pembunyian nada-nada diatonis.

Guido lahir di Paris kira-kira tahun 995, hijrah ke Arezzo sekitar tahun 1025, dan bekerja di situ antara lain sebagai pelatih nyanyi di beberapa katedral. Di kota ini, Guido menemukan solmisasi, metode belajar musik yang mempermudah seseorang menyeberang dari satu nada ke nada lain dalam garis melodi. Atas inovasi mendasar dalam seni suara itu, Paus mengundangnya ke Roma (1028) untuk mendengarkan uraiannya tentang solmisasi. Sebab, berkarya di Arezzo, Guido mendapat imbuhan bagi nama depannya: ”Guido dari Arezzo” atau dalam cara Italia ”Guido d’Arezzo”.

Tak terasa perjalanan tiga jam ke arah timur laut Roma itu berakhir. Ini Kota Arezzo. Bus kami berhenti di sisi jalan beraspal. Rumah pemalaman masih sekitar setengah kilometer. Kami harus berjalan kaki menuju seminari tempat menginap sambil menyeret koper melintasi jalan sempit dengan tanjakan tajam yang tersusun dari batu-batu. Kasat- mata sempit memang, tetapi jalan batu itu masih bisa dilintasi dua mobil berlawanan arah. Bus dilarang masuk. Itulah jalan peninggalan abad pertengahan yang khas di kota-kota Italia dan terus dirawat dengan baik pemerintah kota hingga saat ini. Berbeda dengan jalan di Indonesia yang hari ini diaspal, purnama berikut berlubang, dan dibiarkan berbulan sampai musim pilkada tiba.

Dua wajah

Dengan luas 386,25 kilometer persegi dan berpenduduk hampir 100.000 jiwa, Arezzo yang berada 296 meter di atas permukaan laut itu adalah kota dengan dua wajah: kuno dan masa kini. Di bagian utara dan berbukit adalah wajah kunonya, tempat bangunan abad ke-10 hingga abad ke-16 berkumpul dan berakhir dengan apa yang disebut sebagai gerbang kota kuno. Di bagian selatan yang relatif dataran adalah bagian kota yang dibangun kemudian dan kuat pancaran abad keduapuluhnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com