Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terunyan dan Entitas Bali Turunan

Kompas.com - 16/10/2010, 07:46 WIB

Danandjaja juga menyebut sejumlah alat batu paleolitik, seperti kapak perimbas, proto kapak genggam, kapak berimbas berpuncak, dan kapak berimbas pipih, dan itu semua pernah ditemukan ahli ilmu prasejarah RP Soejono sewaktu ia menjabat Kepala Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Cabang II Bedulu, Gianyar, Bali, tahun 1970-an. RP Soejono memperkirakan artefak berasal dari zaman Pleistosen Bawah (kira-kira 300.000 tahun lalu).

Dari sisi kehidupan religi, religiositas warga Terunyan dapatlah disebut sebagai sebuah versi berbeda dari Hindu pada umumnya di Bali. Dari luar memang terlihat adanya tata cara Hindu Bali, mulai dari bentuk pura. Namun, dewa yang dipuja adalah dewa-dewa asli Terunyan, terutama Ratu Sakti Pancering Jagat dan Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar. Warga Terunyan tak mengenal dewa-dewa yang berasal dari Hindu India, seperti Syiwa, Wishnu, dan Brahma.

Seperti diungkapkan Sutapa, ritual-ritual keagamaan di Terunyan berbeda dengan penganut Hindu di Bali. Salah satu contoh adalah ritual Nyepi. ”Pada hari Nyepi kami beraktivitas seperti biasa, memasak, bercengkerama, juga menyalakan listrik atau lampu,” kata Sutapa.

Ketika Nyepi malam hari, lampu-lampu penerangan warga Terunyan yang terletak di lembah timur Gunung Batur bak kunang-kunang yang berkedip jika dilihat dari Penelokan, sisi selatan Batur. Sebab, hampir seluruh Bali saat itu praktis tanpa penerangan.

Dari sekian pandangan, cara hidup, hingga ritual yang dilakukan warga Terunyan, cara pemakaman warga yang meninggal boleh dikatakan paling diingat orang tentang desa itu.

Warga setempat tidak mengebumikan atau membakar anggota komunitasnya yang meninggal dunia, tapi meletakkannya saja di atas tanah, di bawah udara terbuka. Adat pemakaman ini disebut mepasah. Ada tiga jenis pemakaman: sema wayah (bagi warga yang menikah dan meninggal secara wajar), sema nguda (untuk warga yang masih bujangan dan meninggal wajar), dan sema bantas (tempat pemakaman bagi mereka yang meninggal tidak wajar/salah pati). Sema bantas adalah mengubur jasad.

Cara pemakaman itu menjadi daya tarik bagi turis yang luar biasa sejak era 1970-an. Menurut salah satu pemandu wisata di Terunyan, Nengah Kama (34), desa itu pernah dikunjungi 1.000 turis dalam sehari.

Terdapat sembilan jasad yang diletakkan di sema wayah. Sebuah pohon kemenyan raksasa melingkupi pemakaman itu. Salah satu jasad masih berumur 20 hari. Mereka diletakkan dengan ditutupi kain kafan putih, ditutupi dengan tatanan irisan bambu. Tidak ada bau menyengat di area makam itu.

Danandjaja menyebut tradisi mepasah merupakan tradisi pra-Hindu, ditemukan di desa Bali Aga lain di Bali, seperti Sembiran di Kabupaten Buleleng dan Tenganan (Karangasem). Sejarawan Soekmono mencatat, tradisi itu pernah hidup di Prambanan (perbatasan DI Yogyakarta dan Jawa Tengah sekarang) sebelum abad XIX.

Masyarakat Terunyan tak ingin disebut primitif, tapi lapang dada jika dibilang konservatif. Dan, tanpa lelah mereka berusaha mempertahankan entitas dan tradisi Bali Turunan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com