Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Menjual" Batik Pekalongan

Kompas.com - 12/04/2011, 03:03 WIB

Di Pekalongan, Jawa Tengah, geliat industri batik rakyat bisa dilihat di Kali Loji. Bila air di kali itu keruh, artinya produktivitas sedang tinggi-tingginya sebaliknya bila air kali jernih, hampir pasti produksi batik sedang lesu.

Batik memang tak selalu diproduksi. Ada kalanya—terutama ketika tidak sedang tren—produksi batik menurun. Demikian pula saat bahan baku makin mahal karena negeri ini tak mengontrol bahan baku.

Kapas untuk tekstil harus diimpor dari China, Amerika, dan Swedia. Satu-satunya komponen lokal dalam produksi batik, yakni gondorukem (Resina colophonium) dari getah pinus sebagai bahan campuran lilin untuk membatik. Konyolnya, bahan baku ini malah diekspor. Akibatnya, harga gondorukem melonjak dari Rp 10.000 per kilogram menjadi Rp 32.000 per kilogram dalam enam bulan.

Menghadapi Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA), para perajin batik juga mengeluhkan tingginya suku bunga perbankan. Bila perbankan di China menawarkan suku bunga 4-6 persen, di Indonesia hingga 14 persen.

Namun, di tengah pesimisme menghadapi persaingan dengan China, juragan batik Madoong Style, Khumaidun, menyatakan batik Pekalongan akan bertahan. ”Batik itu adalah roh rakyat Pekalongan, produksi batik selalu akan menemukan bentuknya. Maka, mengada-ada bila dikatakan batik pekalongan dilibas tekstil China. Pekalongan dan batik tak berkembang lebih baik justru karena tak ada yang ’menjual’ dengan benar,” ujarnya.

Ekonomi pembatik dan rakyat Pekalongan takkan lebih baik dalam waktu singkat, justru karena Kota Pekalongan tak serius berbenah. Andai Pekalongan setenar Bali dan orang berbondong-bondong datang ke Pekalongan, dipastikan ekonomi setempat bertumbuh.

Pelancong serius dapat diarahkan untuk tak sekadar melongok galeri, tetapi blusukan hingga rumah-rumah perajin. Tentu, tata kota harus dirancang ulang. Rumah-rumah perajin mesti ditata tak jauh dari galeri, dihubungkan dengan lorong jalan yang bersih dan rindang.

Untuk itu, dibutuhkan campur tangan pemerintah daerah. Apalagi, kini Pekalongan boleh dikata nyaris miskin infrastruktur. Dan bagi pelintas, Pekalongan tak lebih dari kota dengan toko-toko batik, dengan lampu merah yang menjengkelkan, dan antrean truk yang mengembuskan debu dan asap knalpotnya.

Ini berbeda dengan atmosfer Kota Solo, misalnya. Baru turun dari pesawat saja, seolah kita sudah ”dibujuk-bujuk” untuk belanja batik, maka Pasar Klewer dan Kampung Batik Laweyan menjadi tujuan, yang ironisnya tak sedikit batik produksi Pekalongan dijual di sana.

Membangun kota yang humanis, memikat, dan ”mengundang” harus disadari adalah kebutuhan. Bila Anda pernah ke Gamla Stan di Stockholm, Swedia, atau menyusuri pertokoan suvenir di Notre Dame di Paris, Perancis, bukankah itu hanyalah sederetan toko dengan produk dari negara lain? Bukankah kedai oleh-oleh di Mekkah juga dipenuhi produk China, tetapi diborong peziarah?

Bayangkan, kebangkitan ekonomi yang muncul bila batik produksi Pekalongan dijual sendiri di toko-toko mereka dengan pengunjung yang selalu ramai bak toko di Kuta, Bali, atau kedai di Mekkah, Arab Saudi. Ketika itu terjadi, maka ”riak-riak” seperti gondorukem yang makin mahal, serbuan produk China, bukanlah masalah bagi eksistensi industri rakyat batik pekalongan. (HARYO DAMARDONO/STEFANUS OSA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com